Urgensi EQ ( Emotional Quotient ) Kepala Sekolah Dalam Mewujudkan Sekolah Yang Kondusif Dan Komunikatif
Urgensi EQ ( Emotional Quotient) Kepala Sekolah dalam Mewujudkan Sekolah yang Kondusif dan Komunikatif
Oleh : Sujaya, S. Pd. Gr.
(Guru SMPN 3 Sindang)
Artikel ini ditulis dengan latar belakang pemikiran masih banyaknya oknum Kepala Sekolah
yang cenderung masih dominan menonjolkan prilaku emosional daripada faktor prilaku intelektual dan spiritual nya.
Hal
tersebut memberikan indikasi masih banyaknya kepala sekolah yang masih
rendah tingkat EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosionalnya.
Sehingga
hal tersebut berkontribusi terhadap munculnya lingkungan, komunikasi
dan kinerja yang kurang kondusif dan komunikatif. Sehingga hal ini
menciptakan suasana lingkungan dan komunikasi serta kinerja yang tidak
kondusif dan komunikatif di sekolah.
A. Urgensi Emotional Quotient (EQ)
Kepemimpinan
Kepala Sekolah memiliki peran yang sangat strategis dalam pengembangan
iklim Sekolah. sebab Kepala Sekolah berfungsi sebagai the key players
dengan peran utama sebagai pemimpin, pengelola, pendidik dan inovator.
Dengan EQ atau kecerdasan emosional yang tinggi Kepala Sekolah memiliki
kepercayaan diri yang tinggi, mampu menilai diri dengan akura,
transparan, penuh Inisiatif, fleksibel dan optimis.
Sedangkan
Kepala Sekolah yang memiliki EQ atau kecerdasan emosional yang baik akan
mampu memberi makna dalam setiap perilakunya yang dilandasi pemikiran
yang jernih (fitrah), bijaksana menjalankan tugas, jujur, rendah hati,
pemaaf, toleran dan lemah lembut.
Dampak pada Kepala Sekolah
yang memiliki EQ atau kecerdasan emosional yang tinggi akan berimbas
pada guru, terutama dalam pembelajaran di kelas.
Guru tampil
sebagai sosok pribadi yang dapat diteladani, digugu dan ditiru,
menanamkan kasih sayang, kepedulian, kesabaran, penuh kreativitas,
rendah hati, bijaksana, berkomitmen tinggi. Jika Kepala Sekolah dan
guru dapat memerankan dengan baik aspek-aspek kecerdasan emosional,
maka iklim sekolah akan sangat kondusif sehingga menghasilkan siswa yang
berkarakter tinggi.
Dalam penelitian Goleman (2001)
menyimpulkan bahwa Kecerdasan Intelektual atau Intelektual Quotient (IQ)
hanya memberikan kontribusi setinggi-tingginya 20 persen terhadap
keberhasilan seseorang. Sedangkan 80 persen oleh faktor lain yang
berakar pada Kecerdasan Emosional (EQ) dan Spiritual Intelligence atau
SQ. Sedangkan Davis menyimpulkan (2006) bahwa IQ berpengaruh sekitar 25
persen terhadap kinerja seseorang. Sebagai temuan baru tentang Emotional
and Spiritual Quotient ( ESQ ) diharapkan dapat mengubah pola berpikir
(mindset) warga sekolah, khususnya Kepala Sekolah. Karena pemahaman
yang baik terhadap komitmen dalam pelaksanaannya agar mampu menciptakan
sekolah yang kondusif. Posisi Kepala Sekolah sebagai pengambil
kebijakan sangatlah strategis dalam mengelola kepemimpinannya yang
berdasarkan kecerdasan emosional dan spiritual.
EQ (Emotional
Quotient) atau kecerdasan emosional sangat penting dalam pribadi dan
kehidupan seseorang. EQ adalah kemampuan seseorang untuk memahami,
mengelola, dan mengekspresikan emosi dengan baik, serta berempati
terhadap orang lain.
Namun, tidak semua orang memiliki EQ yang
tinggi, dan ini bisa mempengaruhi hubungan sosial serta kesejahteraan
emosional mereka.
Dalam sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh
Hillman Wirawan berjudul “Principal Leadership Styles: The Role of
Emotional Intelligence and Achievement Motivation”
Penelitian
dari artikel tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh kecerdasan
emosional dan motivasi berprestasi pada gaya kepemimpinan Kepala Sekolah
Dasar.
Menurut Hillman, kepemimpinan merupakan hasil interaksi
dari pemimpin dan pengikutnya dalam mencapai sebuah tujuan. Perilaku
seorang pemimpin harus dapat memengaruhi pengikutnya agar tujuan dapat
tercapai.
Penelitian yang dilakukan terhadap 280 kepala sekolah
di Sulawesi Selatan ini mengungkap bahwa kecerdasan emosional kepala
sekolah berpengaruh terhadap gaya kepemimpinannya. Namun, tidak ada
hasil yang signifikan mengenai pengaruh motivasi berprestasi terhadap
gaya kepemimpinan. Selain itu, efek dari kecerdasan emosional pada gaya
memimpin berorientasi pada tugas dan gaya memimpin berorientasi hubungan
lebih besar dibanding efek motivasi berprestasi kepala sekolah kepada
keduanya.
Menurut Hillman, hasil tersebut berhubungan dengan
bagaimana kecerdasan emosional dapat menciptakan keseimbangan. Kepala
sekolah dengan kecerdasan emosional yang baik dapat mengenali dan
mengelola emosi secara efektif sehingga hasil yang lebih baik dapat
tercapai. Mereka mengetahui kapan harus mementingkan kualitas tugas dan
kapan harus mementingkan kualitas hubungan.
Hal ini berlawanan
dengan pengaruh motivasi berprestasi. Kepala sekolah yang lebih fokus
pada motivasinya dalam berprestasi, kebanyakan mengabaikan kualitas
hubungannya dengan para guru atau staf. Meskipun begitu, motivasi
berprestasi tetap penting dimiliki agar tugas dan tanggung jawab dapat
lebih maksimal dijalankan sehingga target atau tujuan dapat tercapai.
Memiliki
kecerdasan emosional yang baik juga akan menyeimbangkan antara
orientasi tugas dan hubungan dalam kepemimpinan. Hillman memaparkan,
salah satu poin penting dari kecerdasan emosional adalah adanya regulasi
emosi. Jika kepala sekolah memiliki regulasi emosi yang baik, maka
mereka akan selalu terlatih untuk menuntaskan tugasnya meskipun suasana
hatinya sedang buruk.
Pendapat Hillman mengenai regulasi emosi
dalam memimpin mendapat tanggapan positif dari Nahdiana. Menurutnya,
peran utama seorang pemimpin adalah sebagai pengelola. Artinya, pemimpin
harus dapat mengelola dirinya sendiri sebelum mengelola orang lain.
Tanpa pengelolaan diri yang baik, pemimpin akan sangat rentan terhadap
stres.
Nahdiana menambahkan, seorang pemimpin harus dapat
menggerakkan pengikutnya. Hal yang paling ditekankan Nahdiana adalah
bagaimana seorang pemimpin dapat meninggalkan legacy atau warisan
setelah kepemimpinannya. Dalam kontes ini, warisan yang dimaksud adalah
kebijakan maupun kebiasaan pemimpin tersebut.
Sebagai pemimpin
sekolah, Nahdiana berharap agar seluruh kepala sekolah dapat mewariskan
kebijakan dan kebiasaan baik setelah periode kepemimpinannya berakhir.
Untuk itu, kepala sekolah harus dapat menjaga kualitas tugas maupun
kualitas hubungannya dengan guru dan staf.
Nahdiana tidak
memungkiri bahwa di tengah jalannya kepemimpinan kepala sekolah, ada
hal-hal yang menimbulkan kemarahan. Menurutnya, hal tersebut wajar
selama kepala sekolah dapat mengelola kemarahannya dengan baik. Inilah
mengapa kecerdasan emosional sangat penting untuk seorang kepala
sekolah.
Pentingnya kecerdasan emosional dalam memimpin juga
disetujui oleh Achmad Zuhri. Menurutnya, hasil penelitian dan pemaparan
Hillman membuktikan bahwa seorang pemimpin harus memahami diri sendiri
dengan baik untuk dapat memimpin secara efektif.
Maka dari itu,
ia menekankan bahwa penting bagi seorang kepala sekolah untuk mengetahui
kemampuannya sebagai pemimpin. Untuk mengetahui itu, Zuhri menyarankan
agar kepala sekolah selalu melakukan refleksi diri. Tanpa refleksi diri,
akan sulit bagi kepala sekolah untuk menyamakan rasa pemimpinnya dengan
rasa yang dipimpin.
Menurut Zuhri, pemimpin sukses adalah
pemimpin yang memberikan hasil bermanfaat dan berguna bagi orang di
sekitarnya. Zuhri pun menekankan bahwa menjadi pemimpin adalah tanggung
jawab yang besar. Inilah mengapa kesadaran akan kapasitas sebagai
pemimpin harus dipahami bahkan sebelum periode memimpin dimulai.
B. Ciri Kepala Sekolah yang rendah EQ atau Kecerdasan Emosional
Kepala
Sekolah yang memiliki EQ rendah memiliki ciri-ciri yang sangat
kontraproduktif yang akan menghambat kinerja, suasana yang kondusif dan
komunikatif karena hal-hal negatif berikut :
1.Gampang Stres dan Tak mampu mengontrol Emosi
Orang yang memiliki EQ rendah biasanya akan mudah merasa
tak
nyaman, cemas, dan frustasi ketika dihadapkan dengan situasi yang
kurang baik, sehingga tak mampu mengontrol emosinya dengan baik.
Ia akan membiarkan emosi menguasai dirinya sehingga sukar untuk berpikir jernih dan cenderung terasa “kacau”.
2.Tidak Tegas dengan Diri Sendiri
Orang yang memiliki kecerdasan emosional rendah juga biasanya menjalani hidup semaunya dan tidak mau diatur orang lain.
Mereka
mungkin merasa tidak tahu cara mengelola tekanan emosional. Ini dapat
berdampak negatif pada kesejahteraan fisik dan mental mereka.
3.Mudah tersinggung
Orang yang EQ rendah bakal mudah tersinggung karena dirinya sendiri kurang percaya diri dan pikirannya cenderung tertutup.
Terkadang,
ketika ada orang lain bercanda akan dianggap serius sama dirinya, yang
akhirnya menimbulkan rasa kesal dan dendam dalam diri.
4.Kurang Empati Kepada Orang Lain
Empati
adalah salah satu aspek penting dari EQ yang berkaitan dengan kemampuan
untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain. Orang dengan EQ
rendah mungkin kurang empati terhadap perasaan dan pengalaman orang
lain. Mereka mungkin tidak sensitif terhadap kebutuhan atau perasaan
orang lain.
5.Cenderung Bersikap Egois
Seseorang dengan EQ
rendah cenderung lebih fokus pada diri mereka sendiri daripada orang
lain. Mereka mungkin memiliki sikap egois dan tidak mempertimbangkan
dampak tindakan atau keputusan mereka pada orang lain. Ini bisa
merugikan hubungan dan kerja sama tim.
6.Kurang Ketrampilan Komunikasi Emosional
Keterampilan
komunikasi emosional yang baik adalah kunci untuk menjalin hubungan
yang sehat. Orang dengan EQ rendah mungkin kurang mampu berkomunikasi
dengan efektif tentang perasaan dan emosi mereka. Mereka mungkin
seringkali menghindari atau memendam perasaan mereka.
7.Sulit Menangani Konflik
Konflik
adalah bagian alami dari kehidupan, tetapi orang dengan EQ rendah
mungkin kesulitan menangani konflik dengan bijak. Mereka mungkin
menghindari konflik atau merasa terancam olehnya. Ini dapat menghambat
pertumbuhan pribadi dan hubungan yang sehat.
8.Kurang Fleksibel dalam Berpikir dan Bertindak
Kecerdasan
emosional juga berkaitan dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan
perubahan dan berpikir fleksibel. Orang dengan EQ rendah mungkin terlalu
kaku dalam pemikiran dan bertindak terutama ketika menghadapi tantangan
atau perubahan.
Penting untuk diingat bahwa kecerdasan emosional
adalah sesuatu yang bisa kita kembangkan dan tingkatkan seiring waktu.
Jika kamu atau seseorang yang kamu kenal memiliki tanda-tanda EQ rendah,
itu bukanlah akhir dari segalanya. Dengan kesadaran, latihan, dan
dukungan yang tepat, kita semua bisa mengembangkan kemampuan emosional
kita dan memperbaiki hubungan dengan orang di sekitar kita. Ingatlah,
kita semua memiliki potensi untuk tumbuh dan menjadi lebih bijak dalam
mengelola emosi dan hubungan.
Sumber:
https://aswinnews.com/2024/09/11/urgensi-eq-emotional-quotient-kepala-sekolah-dalam-mewujudkan-sekolah-yang-kondusif-dan-komunikatif/
