Gadget dan Krisis Kendali Emosi Anak: Saat Kecerdasan Tak Lagi Seiring dengan Kematangan Hati
Oleh : Sujaya, S. Pd. Gr.
(Guru SMPN 3 Sindang Indramayu, Pemerhati Pendidikan Karakter Siswa )
Indramayu – aswinnews.com
Di era digital saat ini, anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang dikelilingi teknologi, terutama gawai (gadget) seperti ponsel pintar dan tablet. Fenomena ini membawa dampak positif seperti kemudahan akses informasi dan sarana belajar yang menarik. Namun, di sisi lain, penggunaan gadget yang berlebihan ternyata mengancam aspek penting dalam perkembangan anak: kendali emosi dan kematangan hati.
Semakin sering anak bermain gadget, semakin banyak waktu yang tersita untuk aktivitas pasif. Anak terbiasa merespons layar, bukan manusia. Interaksi sosial pun berkurang drastis. Ketika anak mulai menunjukkan sikap agresif, menangis keras, atau bahkan berani membentak orang tua hanya karena gadget diambil, itu adalah sinyal kuat bahwa ia sedang mengalami dysregulasi emosi—ketidakmampuan mengelola emosi dengan baik.
Ini bukan semata-mata karena anak “nakal”, tapi karena sistem emosionalnya belum matang akibat tidak dilatih dalam pengalaman nyata yang mendidik hati: seperti sabar menunggu, berempati, atau mengendalikan keinginan. Gadget tidak melatih ini. Sebaliknya, gadget cenderung memberi kepuasan instan, sehingga anak terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan dengan cepat. Ketika itu dihentikan, anak frustrasi dan tidak tahu cara mengatasi perasaannya.
Penelitian dan Fakta Ilmiah:
Penelitian yang dilakukan oleh Twenge dan Campbell (2018) dalam jurnal Preventive Medicine Reports menemukan bahwa anak-anak dan remaja yang menghabiskan lebih dari 2 jam per hari di depan layar mengalami tingkat stres dan gangguan emosional yang lebih tinggi. Mereka juga lebih mudah marah, merasa gelisah, dan tidak stabil secara emosi. 14/07/2025
Sementara itu, studi oleh American Academy of Pediatrics (AAP) menyarankan bahwa anak usia 2-5 tahun sebaiknya tidak menggunakan gadget lebih dari 1 jam per hari, dengan pendampingan orang dewasa. Hal ini bertujuan untuk mendorong perkembangan sosial-emosional yang sehat, yang justru terbentuk lewat interaksi langsung dengan orang lain, bukan layar.
Teori dan Pandangan Ahli:
Menurut Daniel Goleman, pakar kecerdasan emosional, anak yang cerdas secara intelektual (IQ tinggi) namun miskin kecerdasan emosional (EQ rendah) akan kesulitan mengelola dirinya sendiri dalam kehidupan sosial. Ia menyatakan, “Tanpa kecerdasan emosional, seseorang bisa menjadi sangat pintar namun gagal dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.”
Jean Piaget, seorang psikolog perkembangan, juga menekankan pentingnya pengalaman konkret dalam masa kanak-kanak. Anak belajar mengelola emosi melalui interaksi nyata, bukan dengan menekan tombol atau menggeser layar.
Kesimpulan dan Solusi:
Kecanduan gadget bukan sekadar persoalan teknologi, tetapi persoalan tumbuh kembang anak secara menyeluruh, terutama dalam hal kematangan emosi. Anak yang terbiasa dengan gadget tidak memiliki cukup ruang untuk melatih hati dan emosinya. Oleh karena itu, walaupun anak tampak cerdas secara akademis, ia bisa gagal mengontrol dirinya karena tak terbiasa berlatih dalam kehidupan nyata.
Solusinya, orang tua perlu membatasi penggunaan gadget, memperbanyak interaksi langsung, serta memberi teladan dalam mengelola emosi. Anak perlu diajak mengalami kegagalan, belajar bersabar, dan memahami perasaan orang lain. Sebab, pendidikan hati dan kendali emosi tidak akan pernah bisa diajarkan oleh layar, melainkan oleh cinta dan contoh nyata dari orang dewasa di sekitarnya.
Sumber:
https://aswinnews.com/2025/07/14/gadget-dan-krisis-kendali-emosi-anak-saat-kecerdasan-tak-lagi-seiring-dengan-kematangan-hati/
 
