Fenomena Pengibaran Bendera One Piece Jelang HUT RI ke-80: Antara Ekspresi Kreatif dan Krisis Nasionalisme


 

Oleh: Sujaya, S. Pd. Gr.

(Pendidik, Pemerhati Pendidikan Karakter)


Menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, sebuah fenomena unik sekaligus kontroversial mengemuka di berbagai daerah: pengibaran bendera bajak laut One Piece di sejumlah titik, baik oleh remaja, komunitas pop culture, hingga pecinta anime. Fenomena ini viral di media sosial, memunculkan beragam reaksi dari masyarakat. Sebagian menilai sebagai bentuk ekspresi kreatif dan kecintaan terhadap karakter fiktif, namun tak sedikit yang menyayangkan karena dinilai mencederai makna sakral kemerdekaan dan simbol negara.


Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: Apa makna di balik pengibaran bendera One Piece pada momentum nasional? Apa tujuannya? Apa dampaknya bagi generasi muda dan nasionalisme bangsa?


Makna Simbolik: Mencari Identitas dalam Budaya Pop

Bendera One Piece—dengan lambang tengkorak dan topi jerami—merupakan simbol kelompok bajak laut dalam cerita anime Jepang. Dalam narasi tersebut, bendera itu adalah simbol petualangan, kebebasan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan.


Jika ditilik secara simbolik, sebagian anak muda memaknai bendera itu bukan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap negara, tetapi sebagai ekspresi nilai-nilai perjuangan dan perlawanan terhadap kemapanan yang tidak adil. Mereka merasa lebih terhubung secara emosional dengan narasi heroik anime ketimbang narasi sejarah perjuangan bangsa yang diajarkan secara kaku dan tidak menyentuh batin.



Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara narasi patriotisme konvensional dan kebutuhan generasi muda akan makna yang relevan dan kontekstual. Dalam hal ini, bendera One Piece menjadi semacam simbol alternatif pencarian identitas, bukan simbol pengganti nasionalisme.


Tujuan dan Alasan di Balik Aksi Ini

Ada beberapa tujuan dan alasan di balik pengibaran bendera One Piece oleh sejumlah kalangan:


Ekspresi Kebebasan Berpendapat dan Kreativitas. Generasi Z dikenal lebih ekspresif dan terbuka terhadap budaya global. Pengibaran ini bisa jadi bentuk kreativitas menjelang 17 Agustus, bukan niatan menghina negara.

Kurangnya Koneksi Emosional dengan Simbol Nasional. Banyak anak muda yang merasa bendera Merah Putih hanyalah formalitas tanpa makna emosional. Mereka tidak lagi merasakan kedekatan emosional dengan narasi nasional yang kerap disampaikan secara dogmatis.

Kekaguman Terhadap Nilai-nilai dalam Anime. One Piece menyuarakan nilai-nilai universal: kesetiaan, pengorbanan, keadilan, dan kebebasan. Nilai-nilai ini bisa jadi dirasa lebih hidup dan relevan dibandingkan wacana kebangsaan yang kering dan normatif.

Dampak: Ambiguitas Nasionalisme di Era Global


Meski sebagian bermaksud positif, tindakan ini tidak tanpa risiko:

Meredupnya Simbolisme Nasional. Ketika bendera fiksi dikibarkan lebih tinggi atau lebih menarik perhatian daripada bendera Merah Putih, ini bisa menciptakan kebingungan nilai bagi generasi muda. Ada potensi pergeseran makna simbol kebangsaan.

Membuka Celah Disinformasi dan Polarisasi. Aksi ini berpotensi disalahartikan oleh publik luas sebagai bentuk penghinaan terhadap simbol negara. Bahkan, bisa ditunggangi untuk kepentingan politik tertentu.

Krisis Identitas Budaya. Jika generasi muda lebih mengenal tokoh fiksi seperti Luffy daripada pahlawan nasional seperti Soekarno, Cut Nyak Dien, atau Ki Hajar Dewantara, maka ini menjadi sinyal darurat bagi dunia pendidikan dan kebudayaan nasional.

Solusi: Mengelola Ekspresi Kreatif Tanpa Kehilangan Nasionalisme

Fenomena ini tidak semestinya hanya ditanggapi dengan marah atau hukuman. Dibutuhkan pendekatan yang bijak dan edukatif:


Revitalisasi Pendidikan Sejarah dan Kewarganegaraan. Narasi perjuangan bangsa perlu disampaikan dengan cara yang inspiratif dan menyentuh, bukan sekadar menghafal tanggal dan tokoh. Gunakan pendekatan storytelling yang kuat.

Ruang Kreativitas yang Terarah. Pemerintah dan sekolah bisa mengadakan lomba desain bendera kreasi yang tetap menghormati simbol negara. Hal ini memberi ruang ekspresi tanpa melewati batas konstitusional.

Kolaborasi dengan Budaya Pop. Justru kita bisa memanfaatkan ketertarikan anak muda terhadap anime atau budaya pop sebagai pintu masuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Misalnya, menggandeng kreator konten untuk membuat anime lokal dengan tokoh pahlawan Indonesia.

Literasi Simbol dan Etika Sosial. Pendidikan literasi digital dan etika publik sangat penting agar anak muda memahami konsekuensi dari tindakan simbolik, terutama di ruang publik dan digital.

Penutup: Antara One Piece dan Merah Putih

Fenomena pengibaran bendera One Piece jelang HUT RI ke-80 seharusnya menjadi refleksi bersama, bukan hanya sebagai bentuk “pemberontakan simbolik”, tetapi juga sebagai alarm bagi bangsa untuk merebut kembali hati dan imajinasi anak mudanya. Merah Putih harus kembali hidup dalam narasi mereka, tidak sekadar berkibar di tiang bendera.



Karena nasionalisme sejati bukan berarti memusuhi budaya luar, tetapi mampu mencintai tanah air tanpa kehilangan daya imajinasi dan ruang ekspresi diri. Maka tugas kita bersama bukan hanya menegur, tapi juga mendidik, mendengarkan, dan merangkul.


“Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menjadikan anak mudanya bangga akan identitasnya, tanpa memutus keterhubungan mereka dengan dunia.” — (Sujaya, 2025)


Referensi:


Heryanto, Ariel. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010.Kompas.com. “Viral Bendera One Piece Dikibarkan saat HUT RI, Netizen Pro Kontra.” 30 Juli 2025.UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.


Redaksi Aswinnews.com Tajam Berimbang danTer-Upadate

Editor Rahmat Kartolo


Sumber:

https://aswinnews.com/2025/08/02/fenomena-pengibaran-bendera-one-piece-jelang-hut-ri-ke-80-antara-ekspresi-kreatif-dan-krisis-nasionalisme/