Ngaji Subuh : Warisan Spiritual Ulama yang Tergerus Kolonialisme Pendidikan Sekuler
Oleh : H. Sujaya, S. Pd. Gr.
(Pendidik, Pemerhati Pendidikan Karakter)
*Pendahuluan: Fajar yang Mulai Meredup*
Saat jarum jam menunjuk pukul 04.30 WIB, kabut tipis menyelimuti sebuah kampung di pinggiran Purwakarta. Dari masjid tua yang catnya mulai pudar, terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibaca dengan tartil. Suara itu bukan dari pengeras suara untuk membangunkan sahur, bukan pula dari rekaman. Itu suara asli dari sekelompok anak-anak, duduk bersila, mata masih setengah terpejam, melingkari seorang ustaz sepuh yang sedang membimbing mereka mengaji.
Namun pemandangan seperti ini kian jarang dijumpai. Tradisi Ngaji Subuh, yang dahulu menjadi denyut nadi spiritual masyarakat, kini mulai tergerus. Penyebabnya bukan hanya perubahan gaya hidup, tetapi juga sistem pendidikan modern yang menggeser ritme kehidupan umat.
Kebijakan pendidikan sekuler yang lahir dari warisan kolonialisme telah mengubah orientasi pendidikan dari membentuk akhlak menjadi mengejar capaian akademik. Dalam pusaran ini, Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat kala itu, pernah mencoba menghidupkan kembali semangat pagi dengan kebijakan sekolah masuk lebih awal, pukul 06.30 WIB. Kebijakan ini memantik pro dan kontra, namun di baliknya terselip harapan: mengembalikan subuh sebagai waktu emas pembentukan karakter.
*Ngaji Subuh: Jejak Para Ulama dan Tradisi Nusantara*
Tradisi Ngaji Subuh bukan sekadar kegiatan membaca Al-Qur’an di pagi hari. Ia merupakan warisan ulama Nusantara sejak abad ke-16. Di masa itu, para santri di pesantren bangun sebelum fajar, shalat tahajud, lalu selepas subuh mereka mengaji kitab kuning atau Al-Qur’an hingga matahari terbit.
KH. Ahmad Sanusi dari Sukabumi, misalnya, menggunakan Ngaji Subuh untuk mengajarkan tafsir Al-Qur’an sekaligus menanamkan kesadaran kebangsaan di masa penjajahan Belanda. KH. Abdul Halim dari Majalengka menggunakannya untuk memperkuat iman dan membangun solidaritas masyarakat desa.
Bagi masyarakat tradisional Jawa Barat, subuh adalah waktu “ngabaktos” (mengabdi) kepada Tuhan dan guru. Di kampung-kampung, anak-anak berbondong-bondong ke masjid atau langgar, sambil membawa kitab Iqro’, Juz Amma, atau kitab kuning kecil. Orang tua meyakini, anak yang terbiasa mengaji subuh akan tumbuh dengan hati yang bersih dan pikiran yang terang.
*Kolonialisme Pendidikan Sekuler: Perubahan Irama Hidup*
Kehadiran sistem pendidikan kolonial pada abad ke-19 menggeser pola kehidupan masyarakat Muslim. Sekolah-sekolah bentukan pemerintah Hindia Belanda mengadopsi kurikulum Barat, memisahkan pendidikan agama dari pendidikan umum. Jadwal belajar pun dimulai pagi hari tanpa memberi ruang cukup untuk tradisi keagamaan seperti Ngaji Subuh.
Sejarawan pendidikan, Prof. Azyumardi Azra, mencatat bahwa sistem ini bukan hanya mengubah metode belajar, tapi juga membentuk “mentalitas waktu” baru yang menempatkan produktivitas ekonomi di atas kegiatan spiritual.
Akibatnya, Ngaji Subuh yang dulu menjadi rutinitas lintas generasi mulai terpinggirkan. Orang tua lebih memprioritaskan anak berangkat sekolah tepat waktu, bahkan jika itu berarti melewatkan pengajian pagi di masjid.
*KDM dan Kebijakan Sekolah Masuk 06.30 WIB*
Kang Dedi Mulyadi, saat menjabat Gubernur Jawa Barat, meluncurkan kebijakan yang memajukan jam masuk sekolah menjadi pukul 06.30 WIB. Secara lahiriah, kebijakan ini bertujuan membiasakan siswa bangun lebih awal, disiplin, dan siap menghadapi pelajaran dengan segar.
Namun, dalam wawancara dengan media, KDM pernah mengatakan:
> “Kalau anak-anak bangun jam lima, mereka bisa shalat subuh berjamaah, mengaji sebentar, lalu berangkat sekolah dengan hati tenang. Itu bukan sekadar disiplin, tapi membangun karakter dari fajar.”
Kebijakan ini memunculkan perdebatan. Pihak yang setuju melihatnya sebagai peluang menghidupkan kembali Ngaji Subuh. Pihak yang menolak khawatir anak-anak kurang tidur, apalagi di daerah perkotaan yang ritme hidupnya berbeda.
Kisah Nyata: Kang Ujang, Penggiat Ngaji Subuh Purwakarta
Di sebuah masjid di Purwakarta, Kang Ujang (42), seorang guru ngaji, merasakan langsung dampak kebijakan KDM. Sebelum jam masuk sekolah dimajukan, jumlah anak yang ikut Ngaji Subuh di masjidnya bisa dihitung dengan jari. Setelah kebijakan itu berjalan, ia mulai melihat peningkatan.
> “Awalnya cuma tiga anak. Sekarang rata-rata ada lima belas. Mereka ngaji setengah jam, lalu langsung berangkat sekolah. Mungkin karena jam sekolah lebih pagi, orang tua sekalian membangunkan mereka untuk subuh,” ujarnya sambil tersenyum.
Bagi Kang Ujang, Ngaji Subuh bukan hanya tentang menghafal ayat. Ia memanfaatkannya untuk menanamkan adab, seperti menghormati orang tua, menjaga kebersihan, dan tidak membuang waktu.
*Kendala di Lapangan: Tantangan Nyata*
Meski ada peningkatan partisipasi, banyak tantangan menghidupkan kembali Ngaji Subuh. Di daerah perkotaan, anak-anak sering tidur larut malam karena tugas sekolah atau bermain gawai. Di desa, sebagian anak harus membantu orang tua di kebun atau pasar pagi.
Selain itu, tidak semua masjid memiliki guru ngaji yang siap membimbing di waktu subuh. “Kuncinya di guru,” kata Kang Ujang. “Kalau guru ngaji konsisten, anak-anak akan ikut. Tapi kalau gurunya jarang hadir, ya bubar.”
*Dimensi Spiritual dan Psikologis Ngaji Subuh*
Psikolog pendidikan Islami, Dr. Rahmat Hidayat, menjelaskan bahwa waktu subuh adalah momen paling ideal untuk belajar. Otak manusia berada pada kondisi fresh start, gelombang otak dalam keadaan optimal untuk menerima informasi baru.
> “Mengaji di waktu subuh bukan hanya ibadah, tapi juga strategi pembelajaran alami. Anak yang memulai hari dengan interaksi spiritual biasanya lebih tenang dan fokus di sekolah,” ujar Dr. Rahmat.
Di sisi lain, nilai kebersamaan dalam Ngaji Subuh membentuk ikatan sosial antarwarga. Anak-anak belajar bekerja sama, saling menghargai, dan merasakan kehangatan komunitas.
*Revitalisasi Ngaji Subuh di Era Digital*
Menghidupkan kembali Ngaji Subuh di era sekarang tidak bisa hanya mengandalkan kebiasaan lama. Harus ada inovasi. Beberapa komunitas di Jawa Barat mulai memanfaatkan media sosial untuk mengajak anak-anak ikut pengajian subuh, bahkan membuat kompetisi hafalan ayat dengan hadiah kecil sebagai motivasi.
Di Garut, misalnya, sebuah komunitas pemuda membuat program “Subuh Mengaji Online” yang menyiarkan pengajian via Instagram Live untuk menjangkau anak-anak yang tidak bisa datang ke masjid.
*Penutup: Fajar Baru atau Senja Tradisi?*
Ngaji Subuh adalah warisan ulama Nusantara yang mengandung nilai spiritual, moral, dan intelektual yang tinggi. Kolonialisme pendidikan sekuler memang telah menggeser ritme hidup masyarakat, namun upaya-upaya seperti kebijakan KDM membuktikan bahwa ada peluang untuk menghidupkannya kembali.
Pertanyaannya: maukah kita memanfaatkan peluang itu? Atau kita biarkan tradisi ini tenggelam, menjadi cerita masa lalu yang hanya dikenang dalam buku sejarah?
Kang Ujang menutup perbincangan kami dengan kalimat yang sederhana namun menggetarkan:
> “Subuh itu fajar kehidupan. Kalau anak-anak kehilangan subuhnya, mereka kehilangan separuh hidupnya.”
Indramayu. 9/8/2025
Sumber:
https://menaramadinah.com/101763/ngaji-subuh-warisan-spiritual-ulama-yang-tergerus-kolonialisme-pendidikan-sekuler.html
