Razia Rambut Anak Sekolah : Dilema antara Kerapihan, Disiplin, dan Perspektif Hukum
*Oleh : H. Sujaya, S. Pd. Gr.*
(Pendidik, Pemerhati Masalah Pendidikan Karakter )
*Pendahuluan*
Razia rambut di sekolah seringkali menjadi polemik di kalangan masyarakat. Di satu sisi, sekolah memiliki tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai kerapihan dan kedisiplinan kepada siswa sebagai bagian dari proses pendidikan karakter. Namun, di sisi lain, tindakan razia yang dilakukan secara paksa dan tidak manusiawi bisa bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, khususnya dalam konteks perlindungan hak anak. Fenomena ini memunculkan dilema yang memerlukan kajian mendalam dari aspek etika pendidikan, hukum, dan hak asasi manusia.
*Kerapihan dan Disiplin Siswa: Pilar Pendidikan Karakter*
Sekolah sebagai institusi pendidikan tidak hanya bertugas mencerdaskan peserta didik secara akademis, namun juga membentuk karakter mereka agar menjadi pribadi yang disiplin, bertanggung jawab, dan beretika. Kerapihan penampilan siswa, termasuk dalam hal potongan rambut, dianggap sebagai salah satu cermin dari sikap disiplin dan tanggung jawab individu terhadap peraturan yang berlaku.
Banyak sekolah yang menetapkan aturan tegas mengenai panjang rambut siswa, dengan alasan untuk menciptakan suasana belajar yang tertib dan mencegah perilaku menyimpang yang identik dengan gaya hidup bebas atau subkultur tertentu. Razia rambut pun sering kali dijadikan simbol penegakan aturan secara konsisten.
Namun demikian, pendekatan yang terlalu represif, seperti memotong rambut siswa di depan umum tanpa persetujuan, justru dapat menimbulkan perasaan malu, dendam, hingga trauma psikologis. Alih-alih mendidik siswa menjadi disiplin, cara seperti ini bisa menghambat perkembangan rasa percaya diri dan harga diri siswa.
*Perspektif Hukum dan Perlindungan Anak*
Dari perspektif hukum, praktik razia rambut yang melibatkan pemaksaan fisik, penghinaan di muka umum, atau perlakuan yang merendahkan martabat anak, bisa melanggar prinsip-prinsip yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 54 menyatakan bahwa anak di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan fisik maupun psikis. Lebih jauh, Pasal 76C Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Bahkan dalam konteks hukum pidana umum, tindakan pemotongan rambut secara paksa bisa dikategorikan sebagai perbuatan tidak menyenangkan atau tindak pidana ringan sesuai dengan Pasal 335 KUHP. Oleh karena itu, razia rambut yang dilakukan tanpa prosedur yang benar, tanpa edukasi, dan tanpa komunikasi yang humanis, bisa menimbulkan konsekuensi hukum bagi pelakunya.
Perspektif hukum menuntut agar sekolah tidak serta merta mengutamakan penegakan aturan tanpa memperhatikan hak dan martabat siswa sebagai subjek hukum yang dilindungi.
*Mencari Jalan Tengah: Edukasi dan Dialog*
Dilema razia rambut di sekolah tidak dapat diselesaikan hanya dengan sikap hitam-putih. Diperlukan upaya pendekatan yang lebih humanis, edukatif, dan dialogis. Penegakan disiplin harus dikemas dalam proses pembelajaran nilai, bukan sekadar tindakan hukum atau pemaksaan fisik.
Solusi yang bisa ditempuh antara lain:
1. Sosialisasi aturan dengan melibatkan siswa dan orang tua agar tercipta kesepahaman.
2. Menerapkan sanksi edukatif seperti pemberian tugas tentang pentingnya kerapihan dan disiplin, bukan sanksi yang bersifat mempermalukan.
3. Pendekatan konseling dan pembinaan personal terhadap siswa yang melanggar aturan, bukan dengan razia masif yang cenderung represif.
4. Evaluasi aturan tata tertib sekolah secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
*Penutup*
Razia rambut di sekolah merupakan perdebatan panjang yang mencerminkan ketegangan antara idealisme pendidikan karakter dengan kewajiban mematuhi prinsip-prinsip hukum dan perlindungan anak. Sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu memadukan penegakan aturan dengan pendekatan yang menghargai hak dan martabat peserta didik. Disiplin sejati bukan sekadar diukur dari penampilan fisik, tetapi dari kesadaran internal siswa yang tumbuh melalui pendidikan, bukan pemaksaan.
Indramayu. 7/8/2025
Sumber:
https://menaramadinah.com/101630/razia-rambut-anak-sekolah-dilema-antara-kerapihan-disiplin-dan-perspektif-hukum.html
