Carut Marut Tata Kelola Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Dari Nilai Makanan, Menu, hingga Kasus Keracunan Massal
Oleh: Sujaya, S. Pd., Gr.
Dewan Penasihat DPP ASWIN
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu gagasan strategis pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dengan memberikan asupan gizi layak kepada peserta didik, diharapkan persoalan gizi buruk, stunting, dan rendahnya konsentrasi belajar dapat ditekan. Secara teori, program ini sangat mulia dan menjanjikan.
Namun dalam praktiknya, pelaksanaan MBG di berbagai daerah sering kali menimbulkan kontroversi: dari nilai makanan yang rendah, menu yang monoton, hingga kasus keracunan massal yang mengancam keselamatan siswa.
Kegaduhan publik yang muncul menunjukkan bahwa masalah MBG bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut perencanaan anggaran, pengawasan, serta integritas pelaksana. Artikel ini mengurai sejumlah persoalan dalam implementasi MBG, sekaligus menawarkan solusi konkret agar program ini tidak kehilangan arah.
Nilai Makanan: Anggaran Minim, Kualitas Turun
Salah satu akar persoalan utama MBG terletak pada nilai makanan yang terlalu rendah. Alokasi Rp10.000–Rp15.000 per anak per hari dianggap tidak realistis, terutama di tengah lonjakan harga kebutuhan pokok seperti daging, telur, sayuran, dan beras.
Akibatnya, banyak penyedia katering harus menekan biaya produksi dengan mengurangi porsi, menurunkan kualitas bahan, atau bahkan menghilangkan elemen penting seperti buah dan protein hewani. Makanan yang disajikan pun sekadar “mengenyangkan” tanpa memenuhi standar gizi seimbang.
“Makanan bergizi itu bukan hanya soal karbohidrat, melainkan kombinasi protein, vitamin, mineral, serta serat yang seimbang,” ujar Dr. Diah Permatasari, pakar gizi dari IPB. “Jika anggaran tidak memadai, mustahil menu bisa memenuhi standar gizi anak sekolah.”
Menu Tidak Variatif: Kenyang Tanpa Sehat
Monotoninya menu juga menjadi masalah serius. Banyak sekolah hanya menyajikan makanan berbasis nasi dengan lauk sederhana seperti tempe goreng atau mi instan. Buah dan sayur kerap absen, sementara minuman sehat jarang tersedia.
Lebih memprihatinkan, beberapa penyedia makanan tidak memperhatikan kebutuhan khusus anak. Misalnya, anak yang alergi seafood tetap diberikan lauk ikan, atau siswa dengan intoleransi laktosa dipaksa mengonsumsi susu. Akibatnya, makanan tidak dikonsumsi, bahkan dibuang.
Kasus Keracunan Massal: Bom Waktu Program MBG
Sejumlah daerah telah mencatat kejadian keracunan massal akibat makanan MBG. Gejala seperti mual, muntah, dan diare akut menyerang puluhan hingga ratusan siswa. Penyebabnya antara lain:
Bahan baku tidak segar, misalnya daging ayam yang disimpan terlalu lama.
Distribusi tanpa fasilitas cold chain.
Kebersihan dapur buruk, peralatan tidak steril.
Minimnya pengawasan, baik dari Dinas Kesehatan maupun BPOM.
Tragedi ini tidak hanya membahayakan nyawa anak-anak, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat. Publik mulai mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menjamin mutu makanan anak sekolah.
Lemahnya Tata Kelola: Masalah Struktural yang Kronis
Program MBG melibatkan banyak lembaga: Kementerian Pendidikan, Dinas Kesehatan, BPOM, pemerintah daerah, hingga sekolah. Namun, koordinasi antarlembaga kerap berjalan sendiri-sendiri.
Dinas Pendidikan fokus pada distribusi.
Dinas Kesehatan kurang aktif dalam inspeksi dapur.
BPOM terbatas pada pengawasan makanan kemasan.
Sekolah tidak memiliki otoritas untuk menolak makanan yang tidak layak.
Akibatnya, ketika terjadi masalah, antarinstansi justru saling lempar tanggung jawab.
Perspektif Ahli dan Pandangan Publik
Prof. Ahmad Syafiq, pakar gizi dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa program MBG “tidak boleh dipandang hanya dari sisi ekonomi-politik. Jika tujuannya mencetak generasi emas 2045, maka kualitas gizi harus menjadi prioritas utama.”
Dr. Heni Kartikasari, pakar pendidikan, menambahkan bahwa MBG seharusnya juga menjadi sarana edukasi gizi. “Anak-anak bukan hanya makan, tapi juga belajar tentang pentingnya pola makan sehat sejak dini,” ujarnya.
Rekomendasi Perbaikan
Agar program MBG benar-benar berdampak positif, diperlukan sejumlah langkah strategis:
Revisi Anggaran:
Sesuaikan alokasi dana dengan kondisi lokal dan harga pasar.
Tim Ahli Gizi Daerah:
Wajib menyusun menu sehat dan variatif sesuai standar gizi.
Audit dan Sertifikasi Penyedia:
Semua katering wajib tersertifikasi dan diaudit berkala.
Distribusi dengan Cold Chain:
Gunakan sistem pendingin untuk menjaga kesegaran makanan.
Pelibatan Komite Sekolah dan Orang Tua:
Meningkatkan kontrol sosial atas kualitas dan keamanan makanan.
Digitalisasi Pengawasan:
Buat aplikasi pelaporan cepat untuk keluhan terkait makanan.
Integrasi Edukasi Gizi:
Jadikan program ini sebagai alat pembelajaran hidup sehat.
Penutup
Program Makan Bergizi Gratis lahir dari niat mulia: memastikan hak gizi anak Indonesia. Namun, tanpa tata kelola yang baik, niat tersebut bisa berubah menjadi petaka. Nilai anggaran yang rendah, menu yang tidak layak, dan kasus keracunan menjadi bukti lemahnya sistem pengawasan.
Jika tidak segera dibenahi, MBG bisa kehilangan legitimasi di mata publik. Program ini tidak boleh hanya menjadi proyek politik atau simbol pencitraan, tetapi harus menjadi investasi nyata untuk kesehatan, kecerdasan, dan masa depan generasi bangsa.
Indramayu, 28 September 2025
Penulis: Sujaya, S. Pd., Gr.
Dewan Penasihat DPP ASWIN
Editor Rahmat Kartolo // Aswinnews-Tajam Berimbang danTer-Upadate
Sumber:
https://aswinnews.com/2025/09/28/carut-marut-tata-kelola-program-makan-bergizi-gratis-mbg-dari-nilai-makanan-menu-hingga-kasus-keracunan-massal/
