Fenomena Perundungsn (Bullying) dalam Perspektif Psikologi dan Antisipasinya di Sekolah
Oleh : H. Sujaya Suwirya, S.Pd.
(Wakasek Humas SMPN 3 Sindang Indramayu
Berbicara soal perundungan, kenyataannya, perundungan sudah sejak
lama terjadi dengan bentuk tradisional, yaitu yang dilakukan secara
langsung. Dan yang disayangkan, perundungan ini ternyata terjadi di mana
saja, di dalam lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.
Kasus bullying marak terjadi di sekolah. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) mencatat, sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 17 kasus
perundungan di sekolah, mulai dari sekolah dasar (SD) hingga sekolah
menengah atas. Baru-baru ini, salah satu siswa SD di Tasikmalaya
meninggal dunia diduga karena depresi lantaran jadi korban perundungan
teman-temannya di sekolah. HIngga saat ini bahkan ada kecenderungan
jumlah peningkatan kasus perundungan yang terekspos media.
Bahkan fenomena bullying seperti epidemi atau penyakit menular dengan
cepat yang menimbulkan banyak korban. Kasus perundungan terus meningkat
setiap tahunnya.
Bullying adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang
atau sekelompok orang baik secara verbal, fisik, maupun psikologis
sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya (Sejiwa, 2008).
Remaja yang menjadi korban bullying lebih berisiko mengalami berbagai
masalah kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Adapun masalah yang
lebih mungkin diderita anak-anak yang menjadi korban bullying, antara
lain munculnya berbagai masalah mental seperti depresi, kegelisahan dan
masalah tidur yang mungkin akan terbawa hingga dewasa, keluhan kesehatan
fisik, seperti sakit kepala, sakit perut dan ketegangan otot, rasa
tidak aman saat berada di lingkungan sekolah, dan penurunan semangat
belajar dan prestasi akademis.
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan ketika ingin mengidentifikasi
apakah suatu tindakan dapat dikategorikan perundungan atau bukan.
Pertama, perundungan merupakan perilaku negatif. Artinya, tindakan
perundungan ditujukan untuk menyakiti orang lain. Kedua, tindakan dapat
dikategorikan perundungan apabila ia dilakukan secara terus menerus dan
berulang, sehingga menimbulkan distress pada korban. Ketiga, perundungan
dilakukan oleh individu yang memiliki power atau kekuatan yang lebih.
Aspek ketiga inilah yang membedakan perundungan dengan agresivitas.
Agresivitas terjadi ketika dua orang memiliki kekuatan yang sama
kemudian berkelahi, sedangkan perundungan terjadi karena adanya
kesenjangan kekuatan.
Menurut Reni Apriliawati, M.Psi, 2020. selaku psikolog di CDC Fisipol
UGM.Career Development Center (CDC) dalam sesi siaran langsung
psikoedukasi bertajuk “Bullying” menyatakan bahwa perundungan sendiri
terdiri atas dua macam, yaitu perundungan langsung atau tradisional dan
perundungan daring atau cyberbullying. Dalam kedua macam perundungan ini
terjadi bentuk-bentuk tindakan perundungan yang hampir sama, seperti
verbal dan relasional. Perundungan relasional biasanya dilakukan secara
tidak langsung atau tidak sadar. Tindakan dari perundungan relasional
ini biasanya berupa gestur atau ekspresi wajah yang mengancam,
pengucilan, dan tindakan mengalienasi. Pada perundungan langsung juga
dapat terjadi tindakan menyakiti fisik, seperti memukul, menendang, dan
menampar.
Satu hal yang sering dilupakan dalam melihat kasus perundungan adalah
adanya peran serta saksi dalam perundungan. Reni menjelaskan, ada empat
jenis saksi dalam kasus perundungan. Jenis saksi pertama adalah jenis
asisten, atau orang-orang yang justru membantu terjadinya perundungan.
Ada juga jenis saksi reinforcer, yaitu saksi yang tidak ikut merundung,
tetapi ikut menertawakan korban perundungan. Jika diibaratkan, saksi
reinforcer menjadi pihak yang memperkeruh suasana. Kemudian, ada jenis
saksi outsider, saksi yang hanya diam saja saat melihat kasus
perundungan. Saksi jenis outsider ini justru membiarkan perundungan
terus terjadi sebab tidak angkat bicara. Ketiga jenis saksi tersebut
membiarkan perundungan terus terjadi sebab tidak ada yang berusaha untuk
memutus mata rantai perundungan. Saksi yang berusaha membantu
menghentikan perundungan adalah jenis saksi defender.
Satu hal yang sering dilupakan dalam melihat kasus perundungan adalah
adanya peran serta saksi dalam perundungan. Reni menjelaskan, ada empat
jenis saksi dalam kasus perundungan. Jenis saksi pertama adalah jenis
asisten, atau orang-orang yang justru membantu terjadinya perundungan.
Ada juga jenis saksi reinforcer, yaitu saksi yang tidak ikut merundung,
tetapi ikut menertawakan korban perundungan. Jika diibaratkan, saksi
reinforcer menjadi pihak yang memperkeruh suasana. Kemudian, ada jenis
saksi outsider, saksi yang hanya diam saja saat melihat kasus
perundungan. Saksi jenis outsider ini justru membiarkan perundungan
terus terjadi sebab tidak angkat bicara. Ketiga jenis saksi tersebut
membiarkan perundungan terus terjadi sebab tidak ada yang berusaha untuk
memutus mata rantai perundungan. Saksi yang berusaha membantu
menghentikan perundungan adalah jenis saksi defender.
Kemudian, Reni memberikan tips untuk menjadi saksi defender. Di ranah
perundungan langsung, saksi defender dapat melakukan komunikasi secara
asertif dan sederhana. Kemudian, bawa lah korban ke tempat aman dan
dengarkan cerita korban. Jika perundungan dirasa sudah pada level yang
parah, saksi defender dapat membantu melaporkan ke pihak berwenang.
Sementara itu, untuk kasus perundungan daring, hal yang dapat dilakukan
oleh saksi defender adalah mencari bukti perundungan, kemudian membantu
memblokir atau melaporkan akun perundung. Perlu diingat untuk tidak ikut
ramai memberikan komentar, sebab hal tersebut dapat memancing pihak
lain untuk ikut berkomentar juga.
Perundungan ternyata memiliki dampak yang serius bagi para korbannya.
Perundungan dapat menurunkan kepercayaan diri korban, menimbulkan
kecemasan, perasaan tidak aman, dan juga takut. Dalam jangka panjang,
perundungan dapat berakibat mengganggu kegiatan dan aktivitas di
lingkungan tertentu. Dampak yang lebih berat, perundungan juga dapat
mengakibatkan depresi dan menimbulkan keinginan untu mengakhiri hidup
pada korban. Korban juga berisiko menjadi pelaku perundungan di masa
yang akan datang. Untuk itu, Reni memberikan beberapa tips bagi para
korban perundungan, baik tips untuk merespons tindakan perundungan
maupun tips untuk menyembuhkan diri dari perundungan.
Hal pertama yang dapat dilakukan untuk merespons perundungan adalah
dengan mencari support system. Selain itu, ketika terjadi perundungan,
usahakan jangan memberikan respons yang agresif dengan teriak atau
marah. Respons agresif tersebut justru dapat membuat pelaku menjadi puas
atau malah meningkatkan agresivitas perundungan. Namun, korban juga
jangan meminta maaf dan memuji pelaku. Hal tersebut sama saja dengan
mengizinkan pelaku untuk melakukan perundungan. Yang perlu dilakukan
korban adalah melakukan komunikasi penolakan sederhana dan tidak
emosional, sambil menunjukkan gestur kepercayaan diri seperti menatap
mata pelaku. Korban juga bisa untuk melaporkan kasus perundungan. Jika
korban merasa dampaknya perundungan sudah sangat mengganggu, lebih baik
korban mencari bantuan profesional untuk menyembuhkan diri dari
perundungan.
Perundungan (Bullying) di Lingkungan Sekolah
Penyebabnya ada banyak faktor. Namun yang sering ditemukan yaitu
adanya ketidakseimbangan antara pelaku dengan korban. Bisa berupa ukuran
badan, fisik, kepandaian komunikasi, gender hingga status sosial.
Selain itu, adanya penyalahgunaan ketidakseimbangan kekuatan untuk
kepentingan pelaku dengan cara mengganggu atau mengucilkan korban.
Penyebab lain yang menyertai biasanya terkait usia SD, anak ada di fase
ketekunan versus rendah diri. Percaya diri vs rendah diri sering
lingkungan pergaulan yang salah dan pengaruh teman sebaya dan lain-lain.
Karena untuk terjadi di sekolah,
Selain itu, bullying kurang mendapat perhatian sehingga jatuh korban. Perhatian yang kurang ini bisa disebabkan karena memang efek bullying yang tidak tampak secara langsung. Juga tidak terendus karena banyak korban yang tidak melapor; entah itu karena takut, malu atau diancam maupun karena alasan yang lain.
Bullying secara kasat mata tampak seperti guyonan biasa kepada
anak-anak. Jangan kira ini tidak menimbulkan dampak serius. Ejekan atau
olokan secara verbal sangat berbahaya bagi anak.
“Biasanya orang tua dan guru menganggap teguran sudah cukup untuk
mengakhiri candaan di sekolah. Padahal, ini sebenarnya luka psikis atau
emosional yang lebih dalam serta menyakitkan dan efeknya bisa jangka
panjang,” tegasnya.
Kemudian juga karena minimnya pengetahuan guru dan orang tua tentang
bullying dan dampaknya terhadap anak. Pengetahuan ini sangat penting
untuk melihat apakah masalah di sekitar anak serius atau tidak.
Bagi anak yang menjadi korban, tentu saja berdampak pada masalah
kesehatan mental mereka. Anak merasa terisolasi secara sosial, tidak
memiliki teman dekat atau sahabat dan tidak memiliki hubungan baik
dengan orang tua. Ini bisa menjadi trauma panjang. Trauma ini
mempengaruhi penyesuaian diri anak dengan lingkungan, terutama sekolah.
Beberapa penelitian menunjukan, bullying menjadi faktor utama yang bisa
mempengaruhi prestasi akademik hingga putus sekolah.
Bagi anak yang menjadi pelaku, bullying bisa membuat si pelaku
memiliki empati yang minim dalam interaksi sosial. Biasanya mengalami
perilaku abnormal, hiperaktif hingga prososial. Ini berkaitan dengan
respons pelaku terhadap lingkungan sosial sekitarnya.
Peran orang tua dalam membantu mencegah bullying di sekolah dan keluarga:
Dalam Tim Sejiwa. (2008). Bullying: Panduan bagi Orang Tua dan Guru
Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan. Jakarta: Grasindo
1. Ajari anak-anak Anda tentang bullying. Begitu mereka tahu apa itu
bullying, anak-anak Anda akan dapat mengidentifikasinya dengan lebih
mudah, apakah itu terjadi pada mereka atau orang lain.
2. Bicaralah secara terbuka dan sering kepada anak-anak Anda. Semakin
sering Anda berbicara dengan anak-anak Anda tentang bullying, semakin
nyaman mereka memberi tahu Anda jika mereka melihat atau mengalaminya.
3. Bantu anak Anda agar menjadi panutan yang positif. Ada tiga pihak
yang terlibat dalam bullying: korban, pelaku, dan saksi. Bahkan jika
anak-anak bukan korban bullying, mereka dapat mencegah bullying dengan
bersikap positif, hormat, dan baik kepada teman sebayanya. Jika mereka
menyaksikan bullying, mereka dapat membela korban, menawarkan dukungan,
dan atau mempertanyakan perilaku bullying yang terjadi.
4. Membantu membangun kepercayaan diri anak Anda. Dorong anak Anda untuk
mengikuti kelas atau bergabung dengan kegiatan yang ia sukai di
lingkungan Anda atau di sekolahnya.
5. Jadilah teladan. Tunjukkan pada anak Anda bagaimana memperlakukan
anak-anak lain dan orang dewasa dengan kebaikan dan rasa hormat, serta
melakukan hal yang sama kepada orang-orang di sekitar Anda, termasuk
cobalah membela ketika orang lain diperlakukan dengan tidak baik.
Anak-anak melihat orang tua mereka sebagai contoh bagaimana cara
berperilaku, termasuk memposting secara online.
6. Jadilah bagian dari pengalaman online mereka. Biasakan diri Anda
dengan platform yang digunakan anak Anda, jelaskan kepada anak Anda
bagaimana dunia online dan dunia offline terhubung, dan peringatkan
mereka tentang berbagai risiko yang akan mereka hadapi secara online.
Sumber:
https://menaramadinah.com/79851/fenomena-perundungsn-bullying-dalam-perspektif-psikologi-dan-antisipasinya-di-sekolah.html
