Kelemahan Lulusan Perguruan Tinggi Indonesia : Perspektif Literasi, Karakter dan Dunia Kerja
Oleh : H. Sujaya, S. Pd. Gr.
(Dewan Penasihat DPP ASWIN)
Pendahuluan
Pendidikan tinggi di Indonesia diharapkan menjadi ujung tombak lahirnya sumber daya manusia unggul, kritis, dan berdaya saing global. Perguruan tinggi bukan sekadar institusi yang mencetak lulusan dengan selembar ijazah, tetapi juga pusat pengembangan ilmu pengetahuan, riset, serta pembentukan karakter bangsa. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak lulusan sarjana yang memiliki kelemahan mendasar, baik dalam aspek kognitif, keterampilan, maupun karakter.
Tiga kelemahan yang paling sering disorot adalah: pertama, lemahnya kemampuan membaca dalam arti memahami dan menganalisis bacaan, bukan sekadar mengeja; kedua, keterbatasan dalam menulis, baik tulisan akademik maupun karya ilmiah; dan ketiga, habit, etos kerja, serta kemampuan komunikasi yang lemah.
Analisis ini akan membedah kelemahan tersebut dengan pendekatan teoritis dari berbagai tokoh, seperti Paulo Freire, Benjamin Bloom, Thomas Lickona, Peter Drucker, dan Edward T. Hall, serta dikaitkan dengan kondisi empiris pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan demikian, kelemahan lulusan sarjana dapat dipahami sebagai masalah sistemik, bukan sekadar kelemahan individu.
1. Lemahnya Kemampuan Membaca Kritis
Membaca dalam konteks akademik bukan hanya sekadar mengeja atau mengenali huruf, melainkan sebuah proses berpikir untuk memahami makna, menganalisis isi, dan menghubungkannya dengan realitas. Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed membedakan antara reading the word (membaca kata) dan reading the world (membaca dunia). Menurut Freire, orang yang hanya mampu membaca kata tanpa mengaitkan dengan konteks sosial tidak akan mampu berpikir kritis.
Di Indonesia, banyak lulusan sarjana berhenti pada tahap reading the word. Mereka bisa membaca laporan, artikel, atau jurnal, tetapi belum terlatih untuk mengkritisi, menghubungkan, dan menyintesis gagasan di dalamnya.
Benjamin Bloom melalui Taxonomy of Educational Objectives (1956) menjelaskan bahwa kemampuan kognitif manusia terbagi ke dalam beberapa tingkatan: remembering, understanding, applying, analyzing, evaluating, dan creating. Sayangnya, sebagian besar mahasiswa Indonesia hanya berhenti pada level remembering dan understanding. Membaca teks dianggap selesai jika mampu menjawab pertanyaan literal, bukan pertanyaan analitis atau evaluatif.
Kondisi ini sejalan dengan temuan PISA (Programme for International Student Assessment). Pada 2018, kemampuan literasi membaca siswa Indonesia berada di peringkat 74 dari 79 negara. Artinya, kelemahan literasi sudah dimulai sejak jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Jika fondasi literasi sudah rapuh sejak awal, maka tidak mengherankan bila mahasiswa di perguruan tinggi sulit mencapai level analisis dan evaluasi.
Selain itu, budaya membaca masyarakat Indonesia juga relatif rendah. Data UNESCO pernah menyebutkan bahwa indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001—yang berarti dari 1.000 orang, hanya 1 orang yang benar-benar punya minat baca tinggi. Walaupun data ini sering diperdebatkan, secara kualitatif memang terlihat budaya membaca kita kalah jauh dibandingkan negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, atau Singapura.
2. Keterbatasan Kemampuan Menulis Akademik
Kelemahan dalam membaca otomatis berdampak pada kemampuan menulis. Menulis bukan sekadar menyalin kata, melainkan proses berpikir, menyusun argumen, dan menyampaikan gagasan secara runtut. Donald Murray (1972) dalam teori Process Writing menekankan bahwa menulis adalah proses, bukan hasil akhir. Menulis membutuhkan perencanaan, drafting, revisi, hingga refleksi.
Namun, di perguruan tinggi Indonesia, menulis sering dianggap beban administratif. Banyak mahasiswa hanya menulis ketika ada tugas, tanpa menjadikannya sebagai kebiasaan intelektual. Akibatnya, kemampuan menulis mereka stagnan.
John C. Bean dalam Engaging Ideas: The Professor’s Guide to Integrating Writing, Critical Thinking, and Active Learning in the Classroom (2011) menegaskan bahwa menulis adalah sarana berpikir kritis. Mahasiswa yang tidak terbiasa menulis cenderung pasif dalam berpikir, hanya menerima informasi tanpa mengolahnya menjadi ide baru.
Kelemahan menulis di Indonesia juga terlihat dari fenomena plagiarisme. Tidak sedikit mahasiswa yang lebih memilih copy-paste daripada menulis dengan analisis sendiri. Bahkan, laporan penelitian Turnitin menunjukkan bahwa tingkat plagiasi di perguruan tinggi Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa belum benar-benar memiliki kemampuan menulis yang orisinal dan analitis.
Selain itu, publikasi ilmiah mahasiswa di Indonesia juga masih rendah. Data dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menunjukkan bahwa jumlah artikel mahasiswa Indonesia yang dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Ini menandakan lemahnya tradisi menulis akademik di perguruan tinggi.
3. Habits, Etos Kerja, dan Karakter Akademik yang Lemah
Pendidikan bukan hanya soal kecerdasan kognitif, tetapi juga pembentukan karakter. Thomas Lickona (1991) dalam Educating for Character menyatakan bahwa pendidikan karakter terdiri dari tiga komponen: moral knowing, moral feeling, dan moral action. Namun, banyak lulusan sarjana Indonesia yang lemah dalam membangun habit positif seperti disiplin, tanggung jawab, dan kerja keras.
Kondisi ini terlihat dari rendahnya etos kerja lulusan perguruan tinggi ketika memasuki dunia kerja. Banyak perusahaan mengeluhkan bahwa fresh graduate Indonesia kurang memiliki inisiatif, mudah menyerah, dan tidak tahan terhadap tekanan. Laporan World Economic Forum (2023) juga menempatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di posisi menengah ke bawah dibandingkan negara ASEAN.
Jika dibandingkan dengan Jepang dan Korea Selatan, perbedaannya cukup mencolok. Di Jepang, mahasiswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga dibentuk habit kerja keras dan disiplin sejak dini. Di Korea Selatan, budaya kompetitif membuat mahasiswa terbiasa berjuang keras untuk mencapai target. Sementara di Indonesia, budaya akademik sering kali permisif: terlambat mengumpulkan tugas dianggap hal biasa, dan mencontek tidak jarang ditoleransi.
4. Komunikasi yang Buruk
Kemampuan komunikasi menjadi salah satu kunci kesuksesan di era global. Namun, banyak lulusan sarjana Indonesia yang lemah dalam aspek ini. Mereka seringkali takut berbicara di depan umum, tidak mampu mengemukakan pendapat dengan jelas, atau kurang terampil dalam berargumentasi.
Edward T. Hall dalam Beyond Culture (1976) membedakan antara high context communication dan low context communication. Indonesia termasuk budaya high context, yang lebih mengandalkan isyarat non-verbal, kesopanan, dan konteks sosial dalam berkomunikasi. Namun, dunia kerja modern menuntut gaya komunikasi low context, yang jelas, lugas, dan langsung pada inti masalah. Lulusan sarjana sering kali kesulitan menyesuaikan diri dengan gaya komunikasi internasional ini.
Peter Drucker dalam The Effective Executive (1966) menegaskan bahwa kemampuan komunikasi merupakan salah satu kompetensi paling penting bagi pemimpin dan pekerja profesional. Drucker juga menekankan bahwa soft skills seperti komunikasi, manajemen waktu, dan kepemimpinan seringkali lebih menentukan kesuksesan dibandingkan hard skills.
Namun, sistem pendidikan tinggi di Indonesia masih terlalu menekankan teori dan hafalan, sehingga mahasiswa jarang mendapat kesempatan melatih komunikasi praktis. Diskusi kelas sering bersifat formalitas, presentasi hanya dilakukan dengan membaca slide, dan kemampuan menulis laporan tidak selalu diiringi kemampuan mempresentasikannya secara meyakinkan.
5. Akar Masalah
Kelemahan lulusan sarjana dalam membaca, menulis, habit, etos kerja, dan komunikasi bukanlah masalah individual, melainkan persoalan sistemik. Beberapa akar masalah utama antara lain:
1. Budaya literasi yang lemah di masyarakat Indonesia, terlihat dari rendahnya minat baca dan terbatasnya akses buku berkualitas.
2. Pola pembelajaran pasif di sekolah maupun kampus, yang masih didominasi metode ceramah satu arah.
3. Evaluasi pendidikan yang lebih menekankan hafalan dan nilai ujian, bukan keterampilan analitis maupun aplikatif.
4. Minimnya pembinaan karakter akademik, seperti disiplin, integritas, dan kerja sama.
5. Keterputusan antara dunia kampus dengan dunia kerja, sehingga lulusan sering tidak siap menghadapi tuntutan industri.
6. Implikasi Kelemahan Lulusan Sarjana
Kelemahan ini memiliki implikasi serius bagi masa depan bangsa:
Bonus demografi bisa menjadi beban. Indonesia diperkirakan mencapai puncak bonus demografi pada 2030-an. Namun, jika lulusan perguruan tinggi tidak memiliki kompetensi unggul, bonus demografi hanya akan menambah angka pengangguran terdidik.
Daya saing tenaga kerja kalah di ASEAN. Data ASEAN Economic Community menunjukkan Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga kerja dari Filipina, Malaysia, dan Vietnam dalam bidang tertentu.
Menurunnya kualitas riset. Jika mahasiswa tidak terbiasa membaca kritis dan menulis, maka produktivitas riset dan publikasi ilmiah Indonesia akan terus tertinggal.
Tantangan revolusi industri 4.0. Dunia kerja di era digital menuntut critical thinking, creativity, collaboration, dan communication. Tanpa kemampuan ini, lulusan sarjana sulit beradaptasi.
7. Solusi dan Rekomendasi
Untuk mengatasi kelemahan ini, diperlukan langkah strategis dan sistemik:
1. Penguatan literasi akademik sejak dini. Sekolah dan perguruan tinggi harus membudayakan membaca kritis, bukan sekadar membaca teks secara literal.
2. Pembiasaan menulis. Mahasiswa harus dilatih menulis sejak awal perkuliahan melalui esai, jurnal refleksi, hingga laporan riset.
3. Reformasi kurikulum. Kurikulum perguruan tinggi perlu berbasis higher order thinking skills (HOTS) dan project-based learning yang menekankan analisis, evaluasi, dan kreativitas.
4. Pembinaan karakter. Perguruan tinggi perlu memperkuat etos kerja, disiplin, dan tanggung jawab melalui kegiatan organisasi, magang, dan pengabdian masyarakat.
5. Penguatan soft skills. Mahasiswa harus dilatih komunikasi efektif, kepemimpinan, problem solving, dan kerja tim.
6. Kolaborasi kampus dan industri. Dunia kampus perlu terhubung dengan dunia kerja agar lulusan tidak kaget menghadapi tuntutan profesional.
Penutup
Kelemahan lulusan sarjana perguruan tinggi di Indonesia dalam membaca kritis, menulis akademik, habit, etos kerja, dan komunikasi bukan sekadar persoalan teknis, tetapi cerminan dari budaya literasi yang lemah, metode pembelajaran yang pasif, serta minimnya pembinaan karakter di perguruan tinggi.
Teori Freire menekankan pentingnya membaca dunia, Bloom menekankan tahapan berpikir tingkat tinggi, Bean menekankan menulis sebagai alat berpikir kritis, Lickona menekankan pendidikan karakter, Drucker menekankan soft skills, dan Hall menekankan perbedaan gaya komunikasi. Semua teori ini memperkuat analisis bahwa kelemahan lulusan sarjana Indonesia adalah masalah sistemik yang harus segera diatasi.
Jika tidak ada perbaikan, bonus demografi bisa menjadi beban, daya saing tenaga kerja Indonesia akan tertinggal, dan kualitas riset bangsa tidak akan berkembang. Namun, dengan reformasi pendidikan yang menekankan literasi, karakter, dan soft skills, lulusan sarjana Indonesia dapat menjadi motor penggerak pembangunan dan bersaing di kancah global.
Referensi :
Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. 1970.
Bloom, Benjamin. Taxonomy of Educational Objectives. 1956.
Murray, Donald. Teach Writing as a Process Not Product. 1972.
Bean, John C. Engaging Ideas. 2011.
Lickona, Thomas. Educating for Character. 1991.
Drucker, Peter. The Effective Executive. 1966.
Hall, Edward T. Beyond Culture. 1976.
OECD. PISA 2018 Results.
WEF. Global Competitiveness.
Indramayu. 3/9/2025
Sumber:
https://menaramadinah.com/102795/kelemahan-lulusan-perguruan-tinggi-indonesia-perspektif-literasi-karakter-dan-dunia-kerja.html
