“Biarkan Anak Emas Merokok di Sekolah?” – Cermin Retak Moral Pendidikan Kita


 

Oleh: Sujaya, S.Pd.Gr.

(Pendidik & Pemerhati Pendidikan Karakter)

๐Ÿ“ Indramayu, 14 Oktober 2025 | Aswinnews.com

✍️ Editor: Kenzo ~ Redaksi, ๐Ÿ“ข Tajam, Akurat, Terpercaya, Berimbang, dan Ter-Update


Belakangan ini, dunia pendidikan Indonesia kembali dihebohkan oleh sebuah kisah nyata yang tak kalah dramatis dari sinetron prime time. Seorang kepala sekolah, karena dorongan emosi dan tanggung jawab moral, dikabarkan menampar siswanya yang tertangkap basah sedang merokok di lingkungan sekolah.

Namun bukannya mendapat dukungan atas ketegasannya, sang kepala sekolah justru dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa tersebut. Ironi ini seakan menegaskan betapa rapuhnya nilai moral dan otoritas pendidikan di negeri ini. Lebih memprihatinkan lagi, sejumlah siswa malah melakukan aksi mogok belajar untuk membela teman yang salah.


Paradoks Pendidikan: Guru Disalahkan karena Mendidik

Kasus ini bukan semata tentang rokok, melainkan tentang nilai — siapa yang hari ini berhak menegur, dan siapa yang merasa berhak tersinggung.

Guru, yang dahulu dianggap sebagai orang tua kedua di sekolah, kini seolah kehilangan hak moral untuk menegakkan disiplin.


Memang benar, tindakan menampar tidak dibenarkan secara hukum maupun pedagogi modern. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah pergeseran perspektif publik — di mana pelanggar justru dibela, sementara penegak disiplin dicela.

Gejala sosial ini menandai keretakan besar dalam sistem nilai kita: guru kini bukan lagi simbol otoritas moral, melainkan pihak yang harus berhati-hati agar tidak “melukai” ego siswa dan orang tuanya.


Orang Tua yang Gagal Memahami Fungsi Pendidikan

Ketika orang tua melaporkan guru hanya karena menegur anaknya yang salah, maka sesungguhnya mereka telah gagal memahami makna kolaborasi pendidikan.

Sekolah bukan tempat penitipan anak, tetapi ruang pembentukan karakter dan moralitas.


Sikap membela anak tanpa introspeksi hanya melahirkan mental “anak emas” — generasi yang selalu ingin benar, kebal dari konsekuensi, dan tidak siap menghadapi kenyataan sosial.

Alih-alih mendidik, sebagian orang tua kini justru memperlakukan teguran sebagai penghinaan pribadi. Maka wajar bila anak-anak tumbuh menjadi pribadi rapuh, manja, dan sulit menerima koreksi.


Solidaritas Buta: Ketika Siswa Salah Kaprah

Mogok belajar demi membela teman yang melanggar aturan adalah potret krisis nalar dan moral di kalangan generasi muda.

Solidaritas yang sejatinya bermakna memperjuangkan kebenaran kini berubah menjadi pembelaan terhadap pelanggaran.


Inilah hasil dari pendidikan yang gagal menanamkan nilai benar dan salah secara konsisten.

Siswa menjadi lebih mudah digerakkan oleh emosi kelompok daripada nurani dan logika. Akibatnya, keberanian mereka salah arah — menantang aturan, bukan membela kebenaran.


Sekolah di Persimpangan: Disiplin vs Delik Hukum

Kini, guru hidup dalam dilema.

Di satu sisi dituntut menegakkan kedisiplinan, di sisi lain dibayangi ketakutan akan jerat hukum.

Setiap upaya korektif bisa dianggap melanggar hak anak.


Akibatnya, banyak guru memilih diam. Sekolah pun perlahan kehilangan ruh kedisiplinannya, menjadi ruang “netral” yang steril dari teguran dan pembinaan moral.

Aturan hanya menjadi teks — tak lagi hidup dalam tindakan.


Cermin Retak Pendidikan Moral

Kasus ini sejatinya adalah potret kecil dari keruntuhan pendidikan karakter bangsa.

Ketika masyarakat lebih sibuk mencari siapa yang salah secara hukum ketimbang siapa yang keliru secara moral, berarti fondasi nilai kita sedang lapuk.


Generasi kini lebih peka terhadap “pelanggaran hak”, tetapi abai terhadap “kewajiban moral”.

Padahal, pendidikan sejati adalah harmoni antara hak, tanggung jawab, dan disiplin.


Penutup: Saatnya Mengembalikan Marwah Sekolah

Kasus “anak emas merokok” ini seharusnya menjadi refleksi bersama.

Guru bukan musuh anak, dan disiplin bukan kekerasan. Teguran adalah bentuk kasih sayang dalam pendidikan.


Sudah saatnya masyarakat berhenti menjadikan sekolah sebagai tertuduh setiap kali konflik muncul.

Orang tua, guru, dan siswa mesti bersatu dalam satu visi: menjadikan sekolah ruang pembentukan moral, bukan arena pembelaan ego.


Jika kita terus memelihara generasi “anak emas” yang tak boleh ditegur, maka masa depan bangsa ini akan dipenuhi oleh orang dewasa yang manja — berani melawan aturan, tapi takut bertanggung jawab.


Sumber:

https://aswinnews.com/2025/10/14/biarkan-anak-emas-merokok-di-sekolah-cermin-retak-moral-pendidikan-kita/