” Biarkan Anak Emas Merokok di Sekolah? ” (Sebuah Satire Pendidikan yang Terlalu Nyata untuk Disebut Fiksi)
Oleh : Sujaya, S. Pd. Gr.
( Pendidik, Pemerhati Pendidikan Karakter)
Panggung pendidikan Indonesia memang tak pernah kehabisan lakon. Setiap musim ajaran baru, selalu ada drama baru — dan kali ini, perannya dimainkan oleh tiga tokoh utama: guru yang menegur, siswa yang salah, dan orang tua yang terlalu benar.
Kisahnya sederhana.
Seorang kepala sekolah menampar siswanya yang kedapatan merokok di area sekolah. Tapi tunggu dulu, jangan buru-buru berempati. Karena dalam dunia pendidikan versi terbaru, salah dan benar bukan lagi soal moral, tapi soal viral.
Sang siswa merokok di sekolah, tapi yang dipersoalkan justru tangan kepala sekolah yang “terlalu jujur”. Dan puncaknya? Orang tua sang anak dengan heroik datang bukan membawa permintaan maaf, tapi membawa laporan polisi.
Luar biasa.
Inilah bentuk cinta orang tua zaman sekarang — bukan melindungi anak dari kesalahan, tapi melindungi kesalahan dari hukuman.
Babak 1: Guru Salah karena Benar
Hari ini, menjadi guru itu mirip menjadi pahlawan tanpa kekebalan hukum.
Tegur salah, diam pun salah.
Menampar dianggap kekerasan, menegur disebut melukai batin, tapi membiarkan dianggap abai.
Guru yang dulu disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”, sekarang lebih cocok disebut “pegawai layanan publik dengan risiko tuntutan hukum tinggi.”
Mereka bukan lagi pendidik, tapi operator moral yang harus patuh pada kebijakan pelanggan — alias orang tua siswa.
Jadi kalau ada anak yang merokok, ya biarkan saja.
Toh, mungkin itu bagian dari proyek merdeka belajar versi bebas nikotin.
Siapa tahu nanti muncul kurikulum baru: “Merokok Kreatif dan Berpikir Kritis melalui Asap.”
Babak 2: Orang Tua Superhero
Kita harus berterima kasih pada para orang tua macam ini.
Mereka telah berhasil menulis ulang definisi parenting modern.
Dulu, orang tua mengajarkan tanggung jawab.
Sekarang, orang tua mengajarkan: “Jika kamu salah, pastikan yang disalahkan orang lain.”
Anaknya merokok di sekolah?
Ah, itu hal sepele. Yang penting jangan sampai harga diri keluarga tercoreng.
Jadi solusinya: lapor polisi!
Karena rupanya, ruang BK di sekolah sudah kalah pamor dari ruang SPKT di Polres.
Babak 3: Solidaritas Buta, Generasi Tanpa Refleksi
Dan lihatlah, puncak drama ini makin megah saat para siswa melakukan aksi mogok belajar.
Bukan untuk memperjuangkan fasilitas rusak, bukan untuk membela guru honorer yang gajinya setara pulsa bulanan, tapi… untuk membela temannya yang ketahuan merokok!
Aksi mogok belajar ini sungguh revolusioner!
Bentuk baru solidaritas tanpa logika, perlawanan tanpa nalar.
Mereka berdiri gagah di depan sekolah, meneriakkan “Keadilan untuk Perokok!” — seolah rokok itu lambang kebebasan akademik.
Mungkin sebentar lagi kita akan melihat spanduk bertuliskan:
“Asapmu, aspirasiku!”
atau
“Sekolah bersih bukan berarti tanpa rokok!”
Babak 4: Sekolah Jadi Panggung Sandiwara
Sekolah kini bukan lagi tempat mendidik karakter, tapi laboratorium eksperimen sosial — di mana kita menguji batas kesabaran guru, ketegasan aturan, dan ketebalan muka pelanggar.
Semuanya ditafsirkan lewat kacamata “hak asasi”.
Padahal, yang kita butuhkan bukan hanya hak, tapi juga kesadaran akan batas.
Ketika disiplin dianggap kekerasan, dan kesalahan dianggap ekspresi diri, maka tunggulah saat di mana setiap bentuk teguran harus disertai surat izin dari pengacara.
Sampai akhirnya, guru hanya bisa berbisik dalam hati:
“Lebih baik aku diam, daripada viral.”
Epilog: Negeri Anak Emas
Dan begitulah… kita hidup di negeri yang penuh “anak emas.”
Anak yang salah tapi selalu benar.
Orang tua yang salah tapi selalu suci.
Guru yang benar tapi selalu salah.
Mungkin sebentar lagi kita perlu menulis ulang visi pendidikan nasional:
“Mencerdaskan kehidupan bangsa — tanpa menyakiti perasaan siapa pun, termasuk perokok di bawah umur.”
Karena di republik ini,
yang ditampar bukan lagi wajah siswa,
melainkan muka pendidikan kita sendiri.
Indramayu. 14/10/2025
Sumber:
https://menaramadinah.com/105010/biarkan-anak-emas-merokok-di-sekolah-sebuah-satire-pendidikan-yang-terlalu-nyata-untuk-disebut-fiksi.html
