Fenomena Guru Badut yang Menggelikan
(Oleh : Sujaya, SPd. Gr.
Pendidik. Pemerhati Pendidikan Karakter)
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia diramaikan oleh fenomena yang oleh sebagian kalangan disebut “guru badut” —sebuah istilah satir bagi guru yang terlalu menekankan aspek hiburan dalam pembelajaran. Mereka tampil lucu, berpenampilan nyentrik, dan berusaha mengundang tawa siswa di kelas. Di satu sisi, pendekatan ini dianggap kreatif dan menarik minat belajar. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa orientasi pendidikan telah bergeser dari mendidik menjadi sekadar menghibur.
1. Antara Edukasi dan Hiburan: Pergeseran Paradigma
Fenomena ini menunjukkan pergeseran paradigma pendidikan modern. Menurut John Dewey (1938), pendidikan haruslah pengalaman yang bermakna (meaningful experience), bukan sekadar aktivitas yang menyenangkan tanpa arah. Dewey memang menekankan pentingnya pengalaman belajar yang hidup dan relevan dengan siswa, namun ia juga menegaskan bahwa pembelajaran harus tetap memiliki tujuan intelektual dan moral.
Sayangnya, dalam praktik “guru badut”, hiburan seringkali menjadi tujuan utama, bukan alat bantu pedagogis. Kelas menjadi ramai dan penuh tawa, tetapi makna belajar serta kedalaman konsep yang harus dipahami siswa menjadi kabur. Di sinilah muncul kekhawatiran akan degradasi fungsi pendidikan itu sendiri.
2. Tugas Hakiki Guru: Mendidik, Bukan Menghibur
Menurut Ki Hadjar Dewantara (1936), guru adalah “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” — di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberi dorongan. Nilai luhur ini menegaskan bahwa peran guru bukanlah sebagai pelawak di panggung kelas, tetapi sebagai pendidik karakter dan pengarah moral.
Guru tentu boleh menghadirkan suasana menyenangkan, namun itu harus dilakukan tanpa menghilangkan esensi keteladanan dan ketegasan. Pembelajaran yang terlalu santai tanpa batas bisa melemahkan wibawa guru dan mengaburkan nilai disiplin yang seharusnya menjadi bagian dari pendidikan karakter bangsa.
3. Teori Belajar dan Keseimbangan Emosi dalam Pendidikan
Dari perspektif psikologi pendidikan, Lev Vygotsky (1978) menekankan pentingnya interaksi sosial dalam pembelajaran. Humor dan keceriaan dapat memperkuat hubungan antara guru dan siswa sehingga proses belajar menjadi lebih terbuka. Namun Vygotsky juga mengingatkan bahwa interaksi itu harus berada dalam konteks zona perkembangan proksimal (ZPD) —artinya, setiap kegiatan belajar tetap harus mendorong siswa ke tingkat berpikir yang lebih tinggi.
Ketika seorang guru lebih sibuk menampilkan atraksi hiburan ketimbang menggali potensi intelektual siswa, maka pembelajaran tersebut keluar dari koridor ZPD. Siswa merasa terhibur, tetapi tidak bertumbuh.
4. Bahaya Pendidikan yang Terlalu Menghibur
Menurut Neil Postman (1985) dalam bukunya Amusing Ourselves to Death, masyarakat modern sedang “mati terhibur” karena segala hal—termasuk pendidikan—diubah menjadi tontonan. Ketika logika hiburan mendominasi ruang kelas, pendidikan kehilangan kekuatan kritisnya.
Fenomena “guru badut” mencerminkan apa yang dikatakan Postman: pendidikan telah bergeser dari mencerdaskan menjadi menyenangkan, dari membentuk karakter menjadi mencari perhatian. Inilah yang menjadikan fenomena ini menggelikan sekaligus memprihatinkan.
5. Mengembalikan Martabat Guru sebagai Pendidik Sejati
Sudah saatnya kita mengembalikan martabat guru sebagai sosok yang disegani karena keteladanan, integritas, dan ilmunya, bukan karena kelucuan atau gaya penampilannya. Kreativitas dalam mengajar tetap penting, tetapi harus diimbangi dengan substansi yang kuat dan nilai-nilai edukatif.
Guru perlu mengingat bahwa belajar tidak selalu harus menyenangkan. Kadang dibutuhkan ketegasan, kedisiplinan, dan tantangan agar siswa belajar menghargai proses serta mengembangkan karakter tangguh. Seperti dikatakan Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan sejati adalah proses pembebasan, bukan hiburan yang membuat peserta didik terlena.
Penutup
Fenomena “guru badut” bukanlah hal yang sepenuhnya salah, namun menjadi keliru ketika guru kehilangan arah dan menjadikan hiburan sebagai tujuan utama pembelajaran. Pendidikan adalah proses pembentukan manusia seutuhnya —berpikir, berperilaku, dan berakhlak.
Hiburan boleh menjadi bumbu, tetapi substansi pendidikan harus tetap menjadi hidangan utama. Bila tidak, sekolah akan berubah menjadi panggung sandiwara, dan guru kehilangan wibawa sebagai pendidik sejati.
Sumber:
https://menaramadinah.com/105453/fenomena-guru-badut-yang-menggelikan.html
