Toksik Sebuah Cerpen Oleh Sujaya


 

(Sebuah Cerpen oleh Sujaya)


Pagi itu udara di SMP bernama SalBener terasa teduh, diselimuti kabut tipis yang perlahan memudar ketika matahari mulai meninggi. Burung-burung kecil berkicau riang di halaman sekolah yang rindang. Di balik suasana damai itu, langkah lembut seorang guru wanita menembus udara pagi dengan senyum menenangkan—Ibu Diwi, sosok guru yang menjadi panutan seluruh siswa.


“Selamat pagi, anak-anak,” sapanya setiap kali masuk kelas, suaranya lembut tapi tegas.


“Selamat pagi, Bu Diwi!” serentak para siswa menjawab dengan riang.


Ibu Diwi adalah sosok yang sederhana, berhati dermawan, dan penuh kasih. Banyak siswa dari keluarga tak mampu yang ia bantu tanpa pamrih. Kadang ia memberi uang saku, kadang membelikan sepatu, bahkan tak jarang menanggung ongkos transportasi anak-anak agar mereka tak bolos sekolah.


Salah satu anak yang ia bantu adalah Nangsih, murid yatim piatu yang sejak SMP hingga dewasa tetap menjalin hubungan layaknya anak dan ibu. Kini Nangsih sudah bekerja di luar negeri sebagai TKW. Ia sering mengirimkan uang ke Ibu Diwi untuk dititipkan di bank dalam bentuk deposito.


“Bu, uang ini tolong disimpan, ya. Saya percayakan semuanya sama Ibu. Kalau nanti saya pulang, baru saya ambil,” pesan Nangsih lewat sambungan video call.


Ibu Diwi hanya tersenyum hangat. “InsyaAllah, Nak. Ibu jaga baik-baik. Semoga rezekimu barokah dan selalu dilindungi Allah.”


Namun, kebaikan sering kali menjadi sasaran iri dan dengki. Di sekolah itu ada dua guru, Bu Mardud dan Pak Wasik, yang dikenal suka menyindir dan bergosip. Mereka sering merasa tersaingi oleh ketulusan Ibu Diwi yang begitu disegani murid dan guru lainnya.


“Eh, si Diwi itu sering ke bank, ya?” bisik Bu Mardud suatu pagi di ruang guru.

“Iya. Katanya sih nabung. Tapi siapa yang tahu, bisa jadi uang sekolah yang diselewengkan,” sahut Pak Wasik dengan nada licik.

“Heh, bisa jadi! Soalnya kan dia pegang kas sosial sekolah. Kebetulan dia juga wakil kepala sekolah bidang sarpras. Cocok tuh kalau dia dituduh main uang.”


Tawa kecil mereka terdengar seperti racun. Fitnah mulai dirancang.


Beberapa minggu kemudian, Ibu Diwi baru saja pulang dari ibadah haji bersama suaminya. Semua guru menyambut hangat, memberi ucapan selamat dan mendoakan keberkahan. Tapi di balik itu, racun yang sudah disiapkan mulai disebar.


“Bu, saya dengar Ibu bawa uang banyak ya dari luar negeri?” tanya seorang guru muda polos bernama Rini.

Ibu Diwi tersenyum. “Oh, bukan, Nak. Itu uang titipan anak asuh Ibu yang kerja di luar negeri. Ibu cuma bantu simpan saja.”


Tapi percakapan ringan itu disalahartikan oleh Bu Mardud dan Pak Wasik yang diam-diam mendengarkan. Mereka pun menyebar kabar ke seluruh penjuru sekolah bahwa Ibu Diwi telah menggelapkan uang sekolah sebesar sepuluh juta rupiah.


“Katanya uang pembangunan jalan sekolah itu loh, hilang. Kabarnya Ibu Diwi yang pegang,” ucap Wasit di kantin guru, pura-pura prihatin.

“MasyaAllah, beneran? Astaghfirullah, pantas aja sering ke bank,” timpal seorang guru lain yang mulai termakan gosip.


Padahal kenyataannya, uang itu dipegang oleh Bendahara Amor dan diambil oleh Plt Kepala Sekolah Pandi untuk keperluan mendesak. Ibu Diwi sama sekali tidak tahu-menahu soal itu. Namun karena namanya tercantum sebagai bagian dari tim sarpras, ia ikut terseret.


Kabar fitnah itu semakin membesar, apalagi ketika datang kepala sekolah baru bernama Pak Sah Fei, pria berwibawa tapi berkarakter toksik—mudah dipengaruhi dan cepat percaya pada bisikan-bisikan negatif.


“Pak Fei,” ujar Mardud suatu sore dengan nada merendah, “saya dan Wasik ini cuma ingin menjaga nama baik sekolah. Kalau Ibu Diwi dibiarkan terus pegang keuangan, nanti repot. Apalagi ada isu uang hilang.”


Pak Fei mengangguk pelan, matanya tajam. “Kalau begitu, kita perlu evaluasi posisi beliau. Saya butuh orang baru untuk menggantikannya.”

Bu Mardud menunduk berpura-pura sopan, padahal senyum liciknya muncul sekejap di bibirnya.


Keesokan harinya, suasana ruang guru menjadi canggung. Semua orang mulai menjauh. Salam Ibu Diwi dibalas dingin, bahkan beberapa guru memilih pura-pura sibuk ketika beliau lewat.


“Bu Diwi, maaf ya, saya buru-buru,” kata seorang guru yang biasanya akrab dengannya.

“Tidak apa-apa, Bu,” jawab Ibu Diwi tenang, meski hatinya tersayat.


Hanya segelintir siswa yang masih setia menghampiri dan mencium tangannya setiap pagi.

“Ibu jangan sedih, ya. Kami tahu Ibu nggak salah,” kata Lala, salah satu muridnya.

Ibu Diwi tersenyum lembut sambil mengelus kepala muridnya. “Iya, Nak. Kebenaran itu seperti matahari. Kadang tertutup awan, tapi tetap bersinar.”


Namun keadaan semakin memburuk. Tanpa pemberitahuan, surat mutasi turun. Ibu Diwi dipindahkan ke sekolah terpencil di Tegur, dekat pantai yang berjam-jam perjalanan dari rumahnya.


Ketika ia mengemasi barang di ruang guru, Bu Mardud dan Pak Wasik berbisik sambil menahan tawa.

“Kasihan ya, akhirnya kena juga.”

“Ya, siapa suruh terlalu sok suci,” balas yang lain.


Air mata menetes di pipi Ibu Diwi, bukan karena kehilangan jabatan, tapi karena melihat hati manusia yang bisa sekejam itu. Suaminya, yang juga seorang guru, hanya menenangkannya.

“Sabar, ya Sayang, Allah nggak tidur. Mereka yang menebar racun akan menelan racunnya sendiri.”


Hari-hari di sekolah baru berjalan berat, tapi di sanalah Ibu Diwi menemukan kedamaian sejati. Murid-muridnya di daerah pantai begitu sederhana dan menghargai kehadirannya. Ia kembali melakukan kebiasaan lamanya—menyantuni anak yatim, membantu murid miskin, dan mengajar dengan sepenuh hati.


Beberapa bulan berlalu. Kabar mengejutkan datang: kasus penggelapan uang sekolah di SalBener akhirnya terbongkar. Ternyata benar, bendahara Amor dan Plt Kepala Sekolah Pandi yang mengambil uang itu tanpa sepengetahuan siapa pun. Kecuali bendahara untuk keperluan sekolah. Nama Ibu Diwi pun bersih. Desas desus itu nyatanya tanpa bukti dan terbuka lah semua kebenaran. Terang benderang laksana siang dalam terik sinar matahari.


Sementara itu, Mardud dan Wasit masih tetap dengan kebiasaannya menebar fitnah dan prilakunya yang toksik setelah diketahui turut menyebarkan fitnah tanpa bukti.


Tak lama kemudian, kabar baik datang.

“Ibu Diwi, selamat ya, Ibu dimutasi ke sekolah favorit di kota Indramayu,” ujar petugas dinas melalui telepon.

Subhanallah, air mata bahagia menetes. Ia sujud syukur.


Di sekolah barunya, Ibu Diwi disambut hangat. Murid-murid mencintainya, guru-guru menghormatinya. Ia kembali menjalani hari-hari penuh cahaya, jauh dari racun fitnah dan iri hati.


Suatu sore, ponselnya berdering. Ternyata pesan dari Nangsih.

“Bu, saya mau pulang tahun depan. Uang deposito yang Ibu simpan masih aman kan?”

Ibu Diwi tersenyum. “Masih, Nak. Semua aman. Allah Maha Menjaga.”


Di wajahnya terpancar ketenangan yang tak tergantikan. Fitnah, sekejam apa pun, tak mampu memadamkan cahaya hati yang tulus.


Dan di antara desir angin sore yang lembut, Ibu Diwi berbisik lirih,

“Terima kasih, Ya Allah, Engkau telah selamatkan hamba dari lingkungan yang toksik. Kini, biarlah aku menebar kebaikan lagi tanpa rasa takut.”


Di kejauhan, matahari tenggelam perlahan di ufuk barat, seolah menjadi saksi bahwa kebenaran, cepat atau lambat, pasti akan menang.


– Tamat –

Indramayu. 23/10/2025


Sumber:

https://menaramadinah.com/105446/toksik-sebuah-cerpen-oleh.html