Menggugat Kenaikan Pajak Daerah: Antara Krisis Tata Kelola dan Solusi Ekonomi Islam
Oleh : H. Sujaya, S. Pd. Gr.
( Penasihat DPP Asosiasi Wartawan Internasional – ASWIN)
Kenaikan pajak daerah, khususnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 100–3000 persen di beberapa daerah, menjadi isu dilematis yang menimbulkan keresahan publik. Pemerintah daerah beralasan bahwa kenaikan ini tidak terelakkan akibat pemangkasan dana transfer dari pusat. Dengan demikian, pajak dianggap sebagai jalan utama menutup defisit anggaran. Namun, langkah ini justru membebani masyarakat—terutama kelas menengah ke bawah—yang sudah terhimpit berbagai kebutuhan pokok.
Fenomena ini mengungkap masalah yang lebih mendasar: tata kelola keuangan negara yang tidak efisien, korupsi yang merajalela, dan kegagalan negara dalam mengoptimalkan kekayaan sumber daya alam sebagai sumber pemasukan utama. Padahal, Indonesia dikenal kaya raya dengan hasil bumi, hutan, laut, minyak, gas, hingga tambang yang seharusnya menjadi tumpuan kemakmuran rakyat. Sayangnya, potensi itu sering bocor akibat monopoli, salah kelola, bahkan perampokan yang dilegalkan melalui regulasi. Akhirnya, rakyat kembali menjadi korban dengan dibebani pajak di hampir semua lini kehidupan.
Pajak dalam Perspektif Islam: Antara Keadilan dan Darurat
Dalam khazanah Islam klasik, konsep pajak tidak menempati posisi utama dalam pembiayaan negara. Islam mengenal sumber keuangan negara yang beragam dan adil, di antaranya:
Zakat – yang diwajibkan atas kaum Muslim sesuai ketentuan nash (QS. At-Taubah: 60). Zakat merupakan instrumen tetap untuk memberdayakan fakir miskin dan memperkuat solidaritas sosial.
Jizyah – pungutan dari non-Muslim yang hidup di bawah naungan negara Islam, sebagai bentuk kontribusi atas perlindungan yang diberikan (QS. At-Taubah: 29).
Kharaj – pungutan atas tanah pertanian di wilayah Islam, yang dikelola secara produktif.
Fay’ dan Ghanimah – pendapatan dari harta rampasan perang atau wilayah taklukan yang masuk kas negara.
Sumber Daya Alam (al-Milkiyyah al-‘Ammah) – hasil tambang, hutan, laut, energi, yang dalam Islam termasuk milik umum dan dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan dikapitalisasi segelintir pihak.
Dengan sistem ini, pajak bukanlah instrumen utama. Bahkan, menurut Imam Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj, pungutan di luar ketentuan syariat dianggap zalim jika membebani rakyat tanpa alasan darurat. Pajak baru dapat diberlakukan dalam keadaan darurat fiskal, dengan syarat:
Harus adil, proporsional, dan sementara.
Tidak boleh menindas rakyat kecil.
Diambil dari kalangan kaya lebih dahulu.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad).
Artinya, negara tidak boleh sewenang-wenang memungut pajak yang membebani rakyat, apalagi demi menutup borok akibat salah kelola.
Kritik terhadap Sistem Kapitalistik Pajak Daerah
Kenaikan PBB hingga ribuan persen menunjukkan ciri sistem kapitalistik: rakyat menjadi sapi perah untuk menutup kegagalan pemerintah. Alih-alih memperbaiki pengelolaan sumber daya alam yang berlimpah, pemerintah lebih memilih jalan pintas menaikkan pajak. Hal ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga mengingkari prinsip al-‘adl (keadilan) yang menjadi ruh syariat.
Lebih jauh, kondisi ini memperlihatkan moral hazard birokrasi: ketika korupsi masih mengakar, rakyat diminta menanggung kerugian. Padahal dalam prinsip Islam, pemimpin adalah ra‘in (pengurus) bagi rakyatnya, bukan penghisap hartanya. Rasulullah ﷺ menegaskan:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Solusi Islam: Negara Berbasis Kemandirian dan Keadilan
Solusi atas fenomena kenaikan pajak bukanlah menambah beban rakyat, melainkan:
Optimalisasi pengelolaan sumber daya alam – Kekayaan tambang, hutan, minyak, gas, dan laut harus dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Ini sesuai hadis Nabi ﷺ:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud).
Dalil ini menegaskan bahwa sumber energi dan alam bukan untuk diprivatisasi.
Reformasi tata kelola keuangan – Transparansi dan akuntabilitas anggaran wajib ditegakkan. Korupsi harus diberantas dengan hukum yang tegas.
Distribusi beban fiskal yang adil – Bila pajak memang diperlukan dalam kondisi darurat, hendaknya dipungut dari kalangan kaya lebih dahulu, bukan rakyat kecil yang sudah tertekan.
Revitalisasi instrumen zakat – Sistem zakat harus dihidupkan kembali secara institusional. Zakat produktif dapat menjadi alternatif pembiayaan sosial tanpa membebani rakyat. Pandangan Ulama Klasik tentang Pajak (Dharibah)
Dalam khazanah fiqh siyasah (politik Islam), ulama klasik membahas persoalan pajak (dharibah) dengan sangat hati-hati. Mereka menegaskan bahwa pajak bukan sumber tetap keuangan negara, melainkan sekadar kebijakan darurat ketika baitul mal kosong dan kebutuhan umat sangat mendesak.
Imam Abu Yusuf (w. 182 H) – dalam Kitab al-Kharaj, beliau menegaskan bahwa pajak yang berlebihan dan tanpa landasan syariat adalah bentuk kezaliman. Menurutnya, tugas penguasa adalah mengoptimalkan kharaj (pajak tanah) secara adil, serta memakmurkan rakyat agar mampu membayar dengan ringan. Abu Yusuf menekankan bahwa kezaliman fiskal akan menghancurkan legitimasi penguasa.
Al-Mawardi (w. 450 H) – dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah, ia menjelaskan bahwa negara harus mengandalkan pendapatan sah dari zakat, kharaj, fai’, dan usyur. Pajak tambahan (takalif maliyyah) hanya boleh diambil jika darurat, itu pun dengan syarat: tidak membebani fakir miskin, bersifat sementara, dan transparan. Jika tidak, maka penguasa dianggap zalim.
Ibn Taimiyyah (w. 728 H) – dalam Majmu’ Fatawa, beliau berpendapat: “Pajak (mukus) yang dipungut secara zalim adalah haram, termasuk dosa besar.” Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa negara hanya boleh menarik pajak tambahan bila benar-benar darurat, dan harus lebih dulu mengurangi pengeluaran yang mubazir.
Ibn Khaldun (w. 808 H) – dalam Muqaddimah, ia mengkritik pajak yang terlalu tinggi. Menurutnya, pajak yang berlebihan akan membunuh produktivitas rakyat dan justru mengurangi pemasukan negara. Ia menulis: “Kezaliman dalam bentuk pajak yang menekan adalah sebab utama runtuhnya sebuah peradaban.”
Dari pandangan para ulama tersebut, jelas bahwa kenaikan pajak secara masif hingga ribuan persen, apalagi dalam kondisi korupsi merajalela dan SDA tidak dikelola maksimal, bertentangan dengan prinsip keadilan Islam. Negara mestinya memprioritaskan reformasi pengelolaan kekayaan alam ketimbang membebani rakyat.
Penutup
Kenaikan pajak daerah bukan hanya problem fiskal, melainkan tanda kegagalan tata kelola dan pengingkaran amanah kepemimpinan. Islam memberikan paradigma jelas: negara wajib mengelola sumber daya alam untuk rakyat, memberdayakan zakat, dan hanya boleh mengambil pajak dalam kondisi darurat dengan prinsip keadilan.
Pandangan ulama klasik seperti Abu Yusuf, Al-Mawardi, Ibn Taimiyyah, dan Ibn Khaldun semakin menegaskan bahwa sistem fiskal kapitalistik yang membebani rakyat adalah bentuk kezaliman yang harus ditolak.
Sudah saatnya negeri ini mengembalikan orientasi fiskalnya kepada prinsip al-‘adl (keadilan) dan maslahah (kemanfaatan rakyat), sebagaimana diajarkan Islam, agar rakyat tidak lagi menjadi korban dari kegagalan tata kelola negara.
Indramayu. 20/8/2025
H. Sujaya, S. Pd. Gr.
Pemerhati dan Pengkaji Ekonomi Islam
Instruktur Nasional Mental Aritmatika Sempoa pada Toko Buku PT. Gunung Agung 1998-2000
Ketua DPD Partai Kebangkitan Muslim Indonesia ( KAMMI) Kab. Cirebon 1999-2004
Anggota KPU/PPD II Kabupaten Cirebon
Tahun 1999
Ketua DPD Partai Islam Indonesia (PII) Kab. Cirebon 2004-2009
Manajer Koperasi Syariah BMT Al-Amanah Persyarikatan Muhamadiyah Kabupaten Cirebon 1997-2004
Tim Instruktur Ekonomi Syariah PINBUK dan Penilai BMT Tingkat Kabupaten Masyarakat Ekonomi Syariah Kabupaten Cirebon 2000-2004
Editor Rahmat Kartolo// Aswinnews .com-Tajam Berimbang danTer-Upadate
Sumber:
https://aswinnews.com/2025/08/20/menggugat-kenaikan-pajak-daerah-antara-krisis-tata-kelola-dan-solusi-ekonomi-islam/
