Bangsa yang Runtuh Karena Meremehkan Guru


 

Oleh : H. Sujaya, S. Pd. Gr.

( Dewan Penasihat DPP ASWIN )


Dalam lintasan sejarah, bangsa yang meremehkan guru sedang menggali kuburnya sendiri. Guru bukan sekadar sosok yang mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung, melainkan penyalur nilai, ilmu, dan peradaban. Ketika peran guru direndahkan, dihina, bahkan dihapuskan dari ruang kemuliaan, maka bangsa kehilangan penopang moral dan intelektualnya. Runtuhnya sebuah bangsa bukan semata-mata karena serangan musuh dari luar, melainkan lebih sering disebabkan oleh pengkhianatan terhadap guru dan dunia ilmu di dalam negeri.


Para penguasa yang lalai akan cenderung meninggalkan guru, seolah-olah mereka tak pernah berjasa. Padahal, tanpa guru, tidak ada peradaban, tidak ada moral, tidak ada generasi yang mampu berpikir kritis. Bangsa hanya akan diisi perut-perut kekuasaan yang selalu kenyang, sementara rakyat dibiarkan lapar dan kering dari ilmu. Perlawanan lahir bukan dari kelimpahan, melainkan dari luka dan kelaparan yang disulut oleh pengkhianatan pada pendidikan.


Sejarah mencatat banyak contoh kehancuran peradaban besar karena melemahkan guru dan cendekiawan:


1. Dinasti Abbasiyah (1258 M.)


Pada masa awalnya, Dinasti Abbasiyah dikenal sebagai pusat peradaban dunia. Lembaga Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) menjadi simbol kebangkitan ilmu pengetahuan. Para penerjemah karya-karya Yunani, filsuf, ahli sains, dan guru besar dihormati dan dijadikan penopang kejayaan peradaban Islam. Tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina melahirkan pemikiran yang melampaui zamannya.


Namun, di penghujung masa kekuasaan, Abbasiyah justru meninggalkan tradisi keilmuan. Para ilmuwan dan guru dianggap berbahaya bagi stabilitas politik. Pemikir kritis sering dituduh sesat, bahkan dipinggirkan dari lingkaran istana. Hilangnya penghormatan pada guru membuat tradisi ilmiah melemah, hingga bangsa Mongol dengan mudah menaklukkan Baghdad pada tahun 1258 M. Kekalahan itu bukan sekadar karena senjata, melainkan karena rapuhnya pondasi ilmu yang ditinggalkan.


2. Dinasti Ming (1644 M.)


Dinasti Ming pada awal berdirinya menjunjung tinggi ajaran Konfusianisme. Guru dan sarjana Konfusianisme dipandang sebagai penjaga moral dan integritas bangsa. Sistem ujian negara yang ketat memastikan pejabat hanya bisa dipilih berdasarkan kemampuan intelektual yang dibimbing oleh para guru. Kejayaan Ming pada abad ke-15 menjadi bukti kuatnya peran pendidikan dalam menopang stabilitas negara.


Namun, memasuki abad ke-16, Dinasti Ming mulai terjebak dalam kemewahan dan korupsi. Para pejabat dan bangsawan lebih sibuk memperkaya diri, sementara suara guru dan kaum cendekiawan diremehkan. Peran pendidikan direduksi sekadar formalitas, bukan lagi penjaga moral bangsa. Ketika peran guru melemah, integritas pejabat hancur, rakyat kehilangan arah, hingga akhirnya pada tahun 1644 M. Dinasti Ming runtuh dan digantikan oleh Dinasti Qing dari Manchu.


3. Uni Soviet (1991 M.)


Uni Soviet pernah menjadi kekuatan besar abad ke-20 dengan prestasi luar biasa dalam sains dan teknologi. Namun, di masa kepemimpinan Joseph Stalin (1920-an hingga 1950-an), kebebasan akademik dibungkam. Guru dan cendekiawan yang berpikir kritis dicap musuh negara, ditangkap, dipenjara, bahkan dieksekusi. Ilmuwan bekerja dalam ketakutan, bukan dalam kebebasan intelektual.


Akibatnya, generasi muda hanya dilatih untuk patuh, bukan untuk berpikir kreatif. Guru kehilangan martabat sebagai pendidik yang bebas membentuk manusia merdeka. Pada dekade 1970–1980-an, sistem pendidikan Soviet hanya menghasilkan murid-murid disiplin tetapi miskin inovasi. Ketika ilmu dan pendidikan dilemahkan, pondasi negara ikut runtuh. Tahun 1991, Uni Soviet resmi bubar menjadi 15 negara baru—bukti pahit bahwa bangsa yang mengekang guru akhirnya kehilangan masa depannya.


Pelajaran Bagi Bangsa Kita


Dari ketiga peristiwa di atas, ada benang merah yang jelas: bangsa yang meremehkan guru sedang menjemput kehancurannya. Guru bukan hanya pengajar, melainkan pilar peradaban. Mereka adalah pembentuk karakter, penjaga moral, sekaligus pengawal akal sehat bangsa.


Menghormati guru berarti membangun peradaban yang kokoh. Sebaliknya, merendahkan guru berarti membuka pintu keruntuhan. Ketika guru dipinggirkan, ilmu akan mati; ketika ilmu mati, bangsa akan kehilangan arah.


Indonesia hari ini harus bercermin pada sejarah. Jika guru hanya dipandang sebagai pekerja murah, jika martabatnya diremehkan, jika perannya dikecilkan, maka kita sedang menyiapkan reruntuhan peradaban sendiri. Guru bukanlah beban negara, melainkan tiang yang menyangga masa depan bangsa.


Penutup:

Seruan Moral untuk Indonesia Hari Ini


Sejarah memberi pelajaran bahwa bangsa yang menghormati guru akan berdiri kokoh, sedangkan bangsa yang mengkhianatinya akan runtuh. Indonesia tidak boleh mengulang kesalahan peradaban masa lalu. Kita boleh membangun jalan tol, gedung pencakar langit, dan kekuatan militer yang megah, tetapi semua itu akan rapuh jika guru dibiarkan merana.


Guru adalah api yang menyalakan obor peradaban. Jika apinya dipadamkan oleh pengabaian dan penghinaan, maka gelaplah bangsa ini. Sebaliknya, jika kita menjunjung tinggi martabat guru dengan kesejahteraan yang layak, penghormatan yang tulus, serta kebijakan yang berpihak, maka Indonesia akan melahirkan generasi yang berilmu, berkarakter, dan berdaulat.


Ingatlah, bangsa tidak hancur karena kemiskinan sumber daya, melainkan karena miskin penghormatan terhadap guru. Jangan biarkan Indonesia dikenang sebagai bangsa yang meruntuhkan dirinya sendiri karena meremehkan pahlawan tanpa tanda jasa.


Sudah saatnya kita menyadari: meninggikan guru berarti meninggikan bangsa, meremehkan guru berarti merobohkan negeri.


Indramayu. 8/9/2025


Sumber:

https://menaramadinah.com/103087/bangsa-yang-runtuh-karena-meremehkan-guru.html