Sekolah Toksik, Penuh Intrik Hancurkan Tatanan Pendidikan


 

Oleh: Sujaya, S. Pd. Gr

Penasehat DPP ASWIN

Editor Rahmat kartolo// Redaksi- Aswinnews-Tajam Berimbang danTer-Upadate


Aswinnews.com

Sekolah seharusnya menjadi taman yang menumbuhkan budi pekerti dan kecerdasan. Di dalamnya, nilai-nilai seperti kejujuran, empati, dan tanggung jawab dijaga sebagai fondasi karakter. Namun, realitas di lapangan tak selalu seindah cita-cita. Di sejumlah institusi pendidikan, justru tumbuh lingkungan yang toksik—penuh intrik, konflik, dan kepentingan pribadi. Fenomena ini ibarat racun yang menggerogoti tubuh pendidikan dari dalam, menghancurkan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi jiwa sekolah.


Ketika Sekolah Kehilangan Jiwa

Lingkungan toksik tumbuh saat individu-individu dengan perilaku negatif mendominasi ruang sosial sekolah. Sekolah tak lagi menjadi ladang pengabdian, melainkan arena kekuasaan dan adu pengaruh. Ironisnya, perilaku ini kerap bermula dari pimpinan yang seharusnya menjadi teladan. Alih-alih menciptakan iklim kerja yang sehat, yang tumbuh justru budaya saling curiga, bisik-bisik, dan fitnah.


Dalam sebuah kasus nyata di sekolah menengah, situasi ini terlihat sangat jelas. Guru-guru senior yang telah mengabdi lebih dari dua dekade, bahkan ada yang di atas 25 tahun, tiba-tiba didepak dengan tuduhan yang tak berdasar. Beberapa di antaranya adalah pengajar bidang langka seperti PPKN, IPA, dan Matematika. Mereka tersingkir bukan karena kinerja yang buruk, melainkan karena menjadi korban intrik politik internal. Sekolah yang dulunya dihormati berubah menjadi ladang konflik emosional.


Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Di mana ada teladan, di situ ada pendidikan.” Ketika keteladanan tergantikan oleh intrik, maka sekolah kehilangan jiwanya. Yang tersisa hanyalah struktur formal tanpa makna moral.


Efek Domino: Runtuhnya Iklim Akademik dan Moral

Budaya toksik tak hanya merusak hubungan antarpersonal, tetapi menjalar ke jantung sistem pendidikan. Guru-guru yang tersisa bekerja dalam ketegangan, takut bersuara, dan kehilangan motivasi. Kolaborasi melemah, inovasi mandek, dan semangat belajar murid turut merosot. Dalam suasana penuh tekanan, mustahil nilai-nilai pendidikan sejati bisa tumbuh.


Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan sejati seharusnya membebaskan manusia dari penindasan, bukan menciptakan bentuk penindasan baru. Sekolah toksik justru melahirkan penindasan terselubung: suara guru dibungkam, kritik dianggap ancaman, dan kesetiaan diukur dari kepatuhan terhadap kekuasaan, bukan terhadap kebenaran.


Siswa menjadi korban tak langsung. Mereka belajar di tengah atmosfer negatif, menyaksikan ketidakadilan tanpa mampu memahami akar persoalan. Secara psikologis, ini menanamkan pesan berbahaya: bahwa dalam hidup, kebenaran bisa dikalahkan oleh kekuasaan.


Akar Masalah: Kepemimpinan Tanpa Integritas

Sekolah tidak tiba-tiba menjadi toksik. Semua bermula dari krisis integritas pada level kepemimpinan. Ketika kepala sekolah atau pejabat pendidikan gagal menjadi teladan moral, nilai-nilai luhur pun kehilangan arah. Mereka yang memimpin dengan emosi, bukan visi, cenderung menciptakan budaya saling menjatuhkan.


Dalam sistem pendidikan modern, kepemimpinan moral adalah kunci keberhasilan. Kepala sekolah bukan hanya manajer administratif, tetapi penjaga etika dan nilai. Ia seharusnya menuntun, bukan mengintimidasi; memotivasi, bukan memanipulasi. Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita: “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Sayangnya, prinsip ini kini kerap hilang di tengah kultur kekuasaan yang lebih mementingkan citra pribadi daripada kualitas pendidikan.


Harapan: Membangun Sekolah yang Sehat dan Bermartabat

Kita tak boleh menyerah pada keadaan. Reformasi sekolah harus dimulai dari dalam, dengan membangun budaya integritas, keterbukaan, dan empati. Dinas pendidikan, pengawas, dan masyarakat harus menjadi penjaga moral agar penyalahgunaan wewenang tak dibiarkan terus terjadi. Guru-guru juga harus berani bersuara, bersatu, dan melawan ketidakadilan dengan cara profesional dan bermartabat.


Pendidikan sejati bukan sekadar soal kurikulum atau fasilitas, melainkan soal karakter dan kejujuran. Sekolah yang sehat bukanlah yang megah secara fisik, tetapi yang kokoh secara etika. Hanya dengan mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, pendidikan bisa kembali ke jalur sejatinya—sebagai sarana memanusiakan manusia.


Penutup


Sekolah toksik adalah paradoks dari cita-cita pendidikan nasional. Di balik seragam dan slogan moral, tersembunyi luka dan kehilangan makna. Namun di tengah itu, masih ada guru-guru yang mengajar dengan cinta, berjuang dengan hati, dan bertahan dengan integritas. Merekalah penjaga terakhir nilai-nilai luhur pendidikan.


Sebagaimana pesan Ki Hajar Dewantara:


“Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”

Tugas kita adalah memastikan bahwa sekolah—rumah besar ilmu—tidak lagi diracuni oleh toksisitas, tetapi dipenuhi oleh keteladanan, kasih, dan keadilan.


Sumber:

https://aswinnews.com/2025/10/12/sekolah-toksik-penuh-intrik-hancurkan-tatanan-pendidikan/