Film “Pangku” dan Kegundahan Batin Masyarakat Indramayu
Oleh: Sujaya, S.Pd., Gr.(Penasihat DPP ASWIN)
Sebagai orang Indramayu, saya merasa gundah dengan peluncuran film Pangku (2025) yang disutradarai oleh Reza Rahadian. Film ini mengambil latar sosial-budaya wilayah Pantura — termasuk Indramayu dan Eretan — dan menyoroti kehidupan masyarakat di sekitar warung kopi “kopi pangku”, tempat pembeli minum kopi sambil memangku pelayan perempuan.
Film ini berupaya menampilkan potret perempuan yang berada dalam situasi sosial serba sulit, dengan pesan bahwa setiap keputusan hidup sering kali lahir dari upaya bertahan di tengah kerasnya realitas. Secara ide, film ini ingin menampilkan sisi yang jarang tersentuh dari kehidupan masyarakat pesisir. Namun, justru di sinilah letak kegundahan saya.
Kritik Sosial terhadap Tema dan Lokasi
Mengapa sisi negatif yang diangkat?
Sebagai masyarakat lokal, saya merasa sedih karena lagi-lagi yang diangkat dari Indramayu adalah sisi negatif. Seolah-olah daya tarik Indramayu hanya terletak pada hal-hal yang “sensasional” dan “kontroversial”.
Dari perspektif sosial-budaya, ada beberapa kritik yang patut diajukan:
Minimnya valorizasi positif. Mengapa tidak diangkat kisah tentang potensi daerah, kearifan lokal, atau perjuangan masyarakat pesisir yang inspiratif?
Risiko stigmatisasi daerah. Ketika film berlabel “kisah Pantura/Indramayu” menonjolkan aspek gelap, publik luar akan dengan mudah mengasosiasikan Indramayu dengan kemiskinan dan problem sosial.
Kurangnya partisipasi lokal. Apakah masyarakat setempat dilibatkan dalam produksi film ini, atau sekadar dijadikan latar belakang cerita oleh pihak luar?
Motif industri film. Apakah film ini sungguh bertujuan membangun kesadaran sosial, atau sekadar mengejar keuntungan dari eksotisasi masalah lokal?
Memang, mengangkat masalah sosial bisa bernilai edukatif dan menggugah empati, namun efeknya bisa berbalik negatif bila tanpa empati kultural dan representasi yang adil.
Pandangan dari Kajian Budaya Populer
Dari perspektif sosiologi budaya, industri film kerap memilih tema yang “berbeda”, “keras”, dan “penuh konflik” karena dianggap laku di pasaran. Namun, pendekatan semacam ini kerap jatuh pada representasi dangkal yang mengulang stereotip dan meminggirkan nilai-nilai lokal.
Dalam teori budaya populer, dikenal istilah cultural commodification — di mana budaya lokal dijadikan komoditas tanpa memperhatikan dampak sosialnya. Jika film seperti Pangku hanya memotret sisi “eksotik” Indramayu tanpa memberi ruang bagi masyarakat lokal untuk menyuarakan dirinya, maka yang terjadi bukan pemberdayaan, melainkan eksploitasi simbolik.
Film memang bisa menjadi alat kritik sosial, tetapi hanya bila dilakukan dengan sensitivitas budaya, riset mendalam, dan melibatkan masyarakat lokal sebagai subjek aktif, bukan sekadar objek tontonan.
Perspektif Tokoh Lokal: Dudung Badrun, SH., MH.
Sebagai advokat dan pengamat lokal, Dudung Badrun, SH., MH. kerap mengkritik mentalitas pembangunan dan integritas publik di Indramayu. Dalam konteks film Pangku, pandangan beliau kiranya akan sejalan dengan kegelisahan masyarakat lokal:
“Mengapa yang diangkat selalu sisi gelap Indramayu? Apakah film ini membantu masyarakat atau justru mengeksploitasi masalah sosial demi keuntungan industri hiburan?”
Beliau kemungkinan juga menekankan pentingnya keadilan representasi dan tanggung jawab sosial produser film. Film yang mengambil latar Indramayu semestinya memberi manfaat bagi masyarakat lokal — membuka lapangan kerja, pelatihan film, atau minimal menyertakan kontribusi sosial.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Mengangkat realitas sosial yang keras tidak salah. Justru penting untuk menggugah kesadaran. Namun, harus ada kepekaan budaya, keterlibatan masyarakat lokal, dan tanggung jawab sosial dalam setiap langkah produksi.
Beberapa poin penting yang perlu menjadi perhatian:
Film tentang daerah harus membawa manfaat nyata bagi masyarakat, bukan sekadar eksposur media.
Hindari narasi yang memperkuat stigma negatif tanpa memberi ruang pada kekuatan dan daya juang masyarakat lokal.
Pemerintah daerah perlu aktif mengawal industri kreatif agar menjadi sarana pemberdayaan budaya lokal, bukan eksploitasi.
Penonton dan kritikus harus menonton secara kritis, memahami konteks lokal dan dampak sosialnya.
Indramayu memiliki sejarah panjang, budaya kaya, dan masyarakat tangguh. Sudah saatnya narasi besar tentang daerah ini tidak hanya dibangun dari kacamata luar, tetapi dari suara masyarakatnya sendiri.
Sumber:
https://aswinnews.com/2025/10/22/film-pangku-dan-kegundahan-batin-masyarakat-indramayu/
