Miris : Indonesia Negara Kaya Raya Namun Masuk 3 Besar Tingkat Kelaparan Tertinggi di Asia Tenggara


 

Oleh : H. Sujaya, S. Pd. Gr.

(Dewan Penasihat DPP ASWIN)


Pendahuluan


Indonesia dikenal dunia sebagai negara dengan kekayaan alam yang luar biasa. Tanahnya subur, lautnya luas, hutan tropisnya kaya sumber pangan, dan budaya agrarisnya sudah mengakar sejak berabad-abad lalu. Tidak berlebihan jika Indonesia sering disebut sebagai lumbung pangan dunia yang potensial. Namun, fakta ironis muncul dari laporan Global Hunger Index (GHI) 2024: Indonesia justru menempati posisi ketiga sebagai negara dengan tingkat kelaparan tertinggi di Asia Tenggara, hanya di bawah Timor Leste dan Laos.


Skor GHI Indonesia berada di angka 16,9 yang dikategorikan sebagai kelaparan moderat. Meskipun tidak masuk dalam kategori parah, posisi ini sangat memprihatinkan karena Indonesia termasuk negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di Asia Tenggara, bahkan anggota G20. Pertanyaannya: mengapa bangsa yang kaya raya sumber daya ini justru masih harus berjuang melawan kelaparan?


Esai ini akan membahas secara rinci kondisi kelaparan di Indonesia, faktor-faktor penyebabnya, serta menawarkan rekomendasi pemecahan yang realistis dan strategis agar bangsa ini terbebas dari paradoks “negara kaya namun rakyat lapar.”


Kondisi Kelaparan di Indonesia


1. Posisi Indonesia dalam Global Hunger Index 2024


Global Hunger Index (GHI) adalah laporan internasional yang mengukur tingkat kelaparan di berbagai negara berdasarkan empat indikator utama:


1. Prevalensi kekurangan gizi: proporsi penduduk yang tidak mendapatkan cukup kalori.


2. Stunting: persentase anak di bawah lima tahun dengan tinggi badan rendah untuk usianya.


3. Wasting: persentase anak di bawah lima tahun dengan berat badan terlalu rendah untuk tinggi badannya.


4. Angka kematian anak balita: proporsi anak meninggal sebelum usia lima tahun.


Dalam laporan tahun 2024, Indonesia berada pada skor 16,9, menempati peringkat ketiga terburuk di Asia Tenggara. Urutan lengkapnya adalah:


Timor Leste: skor GHI tertinggi, masalah kelaparan kronis.


Laos: peringkat kedua dengan kondisi gizi buruk masih tinggi.


Indonesia: peringkat ketiga, dengan masalah utama stunting dan kekurangan gizi.


2. Data Stunting dan Gizi Buruk


Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2023, prevalensi stunting di Indonesia masih berada di angka 21,6%. Artinya, lebih dari satu dari lima anak Indonesia mengalami hambatan pertumbuhan akibat gizi buruk kronis. Meski angka ini turun dari tahun-tahun sebelumnya (27,7% pada 2019), target pemerintah untuk menurunkan stunting hingga 14% pada 2024 tampaknya sulit tercapai.


Selain itu, wasting masih menjadi masalah serius. Sekitar 7,7% anak balita di Indonesia mengalami berat badan terlalu rendah untuk tinggi badannya. Kondisi ini menandakan adanya malnutrisi akut yang berpotensi meningkatkan risiko kematian anak.


3. Ketersediaan vs. Akses Pangan


Indonesia sejatinya tidak kekurangan produksi pangan. Badan Pangan Nasional mencatat, produksi beras Indonesia tahun 2023 mencapai lebih dari 31 juta ton. Namun, distribusi yang tidak merata dan daya beli masyarakat yang rendah membuat sebagian rakyat tidak dapat menikmati pangan bergizi. Ironisnya, di satu sisi kita menghadapi surplus beras, di sisi lain ada daerah yang warganya lapar.


4. Dampak Sosial dan Ekonomi


Kelaparan tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga kualitas sumber daya manusia. Anak-anak yang mengalami stunting cenderung memiliki kecerdasan kognitif lebih rendah, rentan sakit, dan produktivitasnya menurun saat dewasa. Dengan kata lain, kelaparan adalah ancaman serius bagi bonus demografi yang sedang dipersiapkan Indonesia menuju 2045.


Masalah Utama yang Melatarbelakangi


1. Ketimpangan Akses dan Distribusi Pangan


Meski Indonesia kaya pangan, distribusi yang tidak merata menjadi masalah klasik. Wilayah perkotaan umumnya memiliki akses lebih baik, sedangkan daerah pedalaman, kepulauan, dan perbatasan sering mengalami kekurangan. Infrastruktur transportasi yang terbatas membuat biaya logistik tinggi, sehingga harga pangan melonjak di wilayah terpencil.


2. Kemiskinan dan Daya Beli Rendah


Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, tingkat kemiskinan per Maret 2024 mencapai 9,36% atau sekitar 25,9 juta orang. Mereka inilah yang paling rentan kelaparan karena tidak mampu membeli pangan bergizi, meski tersedia di pasar. Situasi diperparah oleh inflasi harga pangan, terutama beras, minyak goreng, dan telur.


3. Ketergantungan pada Beras


Masyarakat Indonesia sangat bergantung pada beras sebagai sumber karbohidrat utama. Konsumsi pangan alternatif seperti jagung, sagu, umbi, dan sorgum masih sangat rendah. Ketergantungan ini membuat ketahanan pangan rentan: jika produksi beras terganggu akibat iklim atau distribusi, masyarakat langsung terdampak.


4. Minimnya Edukasi Gizi


Masalah kelaparan tidak hanya soal ketersediaan pangan, tetapi juga pilihan konsumsi. Banyak keluarga yang masih menganggap kenyang lebih penting daripada gizi seimbang. Akibatnya, anak-anak lebih sering mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat dan gula, tetapi miskin protein, vitamin, dan mineral.


5. Kebijakan yang Kurang Efektif


Pemerintah sebenarnya telah meluncurkan berbagai program seperti Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), Program Makanan Tambahan (PMT), hingga Program Penurunan Stunting. Namun implementasinya sering tidak tepat sasaran. Kasus korupsi bansos yang mencuat beberapa tahun lalu menjadi bukti lemahnya pengawasan.


6. Krisis Iklim dan Ketahanan Pertanian


Perubahan iklim menyebabkan cuaca ekstrem, banjir, dan kekeringan yang memengaruhi produksi pangan. Petani kecil paling terdampak karena tidak memiliki akses ke teknologi pertanian modern dan asuransi pertanian. Padahal, mereka adalah tulang punggung ketahanan pangan nasional.


7. Budaya Konsumtif dan Ketidakadilan Struktural


Indonesia menghadapi paradoks: di satu sisi, banyak masyarakat kelas menengah atas yang membuang makanan berlebihan, sementara di sisi lain masih ada jutaan orang yang kelaparan. Menurut laporan Bappenas 2022, food loss and waste di Indonesia mencapai 23–48 juta ton per tahun. Ketidakadilan distribusi pangan ini memperlebar jurang sosial.


Rekomendasi Pemecahan


1. Perbaikan Distribusi dan Infrastruktur Pangan


Pemerintah harus membangun jalur logistik pangan yang efisien, terutama ke wilayah timur Indonesia. Cold storage, transportasi laut perintis, dan digitalisasi rantai pasok bisa menurunkan biaya logistik sekaligus mengurangi food loss.


2. Subsidi dan Bantuan Tepat Sasaran


Bantuan pangan harus dipastikan benar-benar diterima oleh kelompok miskin, bukan bocor ke pihak yang tidak berhak. Sistem digital berbasis data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) perlu diperkuat dengan pengawasan independen agar bantuan lebih transparan.


3. Diversifikasi Pangan Lokal


Pemerintah dan masyarakat harus mendorong konsumsi pangan lokal non-beras. Sagu di Papua, jagung di NTT, dan umbi-umbian di Jawa bisa menjadi alternatif karbohidrat. Promosi kuliner lokal dan inovasi industri pangan perlu digalakkan agar masyarakat lebih terbiasa mengonsumsi makanan beragam.


4. Edukasi Gizi Seimbang


Kampanye gizi seimbang harus dilakukan secara masif di sekolah, puskesmas, dan media massa. Program makan bergizi gratis di sekolah dapat menjadi langkah jangka panjang untuk mencegah stunting.


5. Reformasi Pertanian dan Perlindungan Petani


Petani kecil harus diberdayakan melalui:


Akses bibit unggul dan pupuk berkualitas.


Pelatihan teknologi pertanian modern.


Asuransi pertanian untuk melindungi dari gagal panen.


Jaminan harga minimum hasil panen agar petani tidak dirugikan.


6. Mitigasi Krisis Iklim


Pertanian berkelanjutan harus menjadi prioritas. Pemerintah perlu mengembangkan irigasi hemat air, memperbanyak lahan pangan berkelanjutan, dan melakukan riset bibit tahan iklim ekstrem.


7. Partisipasi Masyarakat dan Swasta


Masalah kelaparan bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Lembaga swadaya masyarakat, komunitas, dan sektor swasta harus dilibatkan dalam program pengentasan kelaparan. Misalnya, dengan bank pangan yang menyalurkan makanan sisa layak konsumsi dari hotel, restoran, dan rumah tangga untuk masyarakat miskin.


8. Pengawasan Ketat dan Transparansi


Korupsi dalam distribusi bantuan pangan adalah pengkhianatan besar terhadap rakyat. Oleh karena itu, setiap program harus melibatkan pengawasan dari lembaga independen, media, dan masyarakat sipil.


Penutup


Ironi Indonesia sebagai negara kaya sumber daya alam namun masih masuk tiga besar negara dengan tingkat kelaparan tertinggi di Asia Tenggara adalah tamparan keras bagi bangsa ini. Kelaparan bukan semata karena produksi pangan kurang, tetapi lebih pada masalah struktural: distribusi, daya beli, pendidikan gizi, dan kebijakan yang lemah.


Jika masalah ini tidak segera diatasi, maka kelaparan akan menggerus kualitas sumber daya manusia Indonesia, menghambat bonus demografi, dan mengancam cita-cita Indonesia Emas 2045. Namun, jika dilakukan perbaikan serius melalui distribusi pangan yang merata, diversifikasi konsumsi, reformasi kebijakan pertanian, serta edukasi gizi, Indonesia seharusnya bisa keluar dari jeratan paradoks ini.


Indonesia punya semua syarat untuk menjadi bangsa besar dan sejahtera. Yang dibutuhkan hanyalah komitmen kuat, kebijakan tepat, dan kepedulian kolektif agar tidak ada lagi anak bangsa yang tumbuh dengan perut lapar di tanah yang kaya raya.


Indramayu. 15/9/2025


Sumber:

https://menaramadinah.com/103563/miris-indonesia-negara-kaya-raya-namun-masuk-3-besar-tingkat-kelaparan-tertinggi-di-asia-tenggara.html